Sumber foto: iStock

Asal Usul Nama Depok: Ternyata Bukan Bahasa Indonesia, Ini Kisah Lengkapnya

Tanggal: 17 Apr 2025 09:06 wib.
Apakah kamu salah satu warga Depok atau kerap mengunjungi kota ini? Pernahkah kamu penasaran, dari mana sebenarnya nama “Depok” berasal? Banyak orang mengira nama ini adalah murni kata dalam Bahasa Indonesia, padahal faktanya justru sebaliknya.

Nama "Depok" ternyata merupakan singkatan dari bahasa Belanda yang mengandung makna mendalam serta erat kaitannya dengan sejarah agama Kristen Protestan di Indonesia. Kisah ini bermula pada era kolonial Belanda, ketika seorang tokoh penting bernama Cornelis Chastelein, pegawai tinggi VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), memainkan peran besar dalam membentuk cikal bakal Depok modern.

Sejarah Awal Wilayah Depok

Wilayah yang kini dikenal sebagai Kota Depok dulunya termasuk dalam bagian penting dari Residensi Ommelanden van Batavia, yakni wilayah sekitar Batavia (Jakarta) berdasarkan keputusan Gubernur Batavia tertanggal 11 April 1949. Sebelum resmi menjadi kota modern seperti sekarang, wilayah ini sudah memiliki nilai sejarah dan budaya yang cukup kuat, terutama karena keberadaan komunitas khusus yang menjadi pondasinya.

Depok dan Asal Nama dari Bahasa Belanda

Banyak yang tidak tahu bahwa nama "Depok" adalah singkatan dari istilah dalam Bahasa Belanda: De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen, yang jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti Organisasi Kristen Protestan Pertama. Nama ini lahir dari semangat keagamaan serta visi kemanusiaan seorang tokoh penting pada masa kolonial: Cornelis Chastelein.

Siapa Cornelis Chastelein?

Cornelis Chastelein adalah seorang Belanda yang bekerja di VOC selama lebih dari dua dekade. Ia memulai karirnya dari posisi rendah sebagai pengawas gudang, namun karena kerja keras dan kecerdasannya dalam berdagang, ia berhasil naik menjadi saudagar utama sekaligus anggota Dewan Kota Batavia. Pria kelahiran tahun 1658 ini mendapat gaji yang sangat tinggi untuk zamannya, yakni sekitar 200 hingga 350 gulden per bulan.

Namun, alih-alih hidup boros, Chastelein memilih untuk menginvestasikan uangnya dalam bentuk pembelian tanah di berbagai lokasi sekitar Batavia. Salah satu properti pertamanya berada di Weltevreden, yang kini dikenal sebagai daerah Gambir. Di sana, ia mengembangkan perkebunan tebu.

Masa Pensiun dan Pembentukan Komunitas Depok

Pada tahun 1695, Chastelein memutuskan untuk pensiun dari VOC. Ia lalu membeli lahan baru di kawasan Serengseng, yang kini kita kenal sebagai Lenteng Agung. Di sinilah ia membangun rumah besar dan menjalani hidup sebagai tuan tanah. Tak hanya membawa keluarganya, Chastelein juga membawa serta sekitar 150 budak, yang sebagian besar berasal dari luar Pulau Jawa.

Yang menarik, Chastelein memperlakukan para budaknya dengan sangat berbeda dibandingkan kebanyakan orang pada masanya. Sebagai penganut Kristen yang taat, ia memiliki pandangan kemanusiaan yang kuat. Ia tak hanya mengizinkan para budaknya untuk memeluk agama Kristen, tetapi juga membebaskan mereka dari perbudakan.

Setelah dimerdekakan, para mantan budak ini tidak diabaikan. Mereka diberi tanggung jawab untuk mengelola rumah besar di Serengseng serta mengurus lahan-lahan baru yang dibeli Chastelein di Mampang dan Depok. Tanaman yang dikembangkan pun bernilai tinggi, seperti kopi, pala, lada, dan tebu, menjadikan Chastelein sebagai salah satu orang terkaya di Batavia kala itu.

Warisan Abadi untuk Masyarakat Depok

Chastelein wafat pada 28 Juni 1714. Namun jauh sebelum itu, tepatnya pada 13 Maret 1714, ia telah menulis surat wasiat yang menyatakan bahwa seluruh harta dan tanahnya harus dibagikan tidak hanya kepada keluarganya, tapi juga kepada para mantan budaknya yang telah dimerdekakan. Ia ingin mereka bisa hidup mandiri, sejahtera, dan melanjutkan penyebaran ajaran Kristen di wilayah tersebut.

Sebagai bentuk penghormatan dan realisasi wasiat tersebut, para mantan budak ini membentuk komunitas religius bernama De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen. Komunitas ini berkembang dan wilayah tempat mereka bermukim kemudian dikenal masyarakat sebagai “Depok”, yang diambil dari singkatan nama komunitas tersebut.

Kelak, keturunan komunitas ini dikenal dengan sebutan Belanda Depok. Hingga kini, warisan sejarah dan budaya mereka masih dapat ditemukan di beberapa sudut kota Depok, meski telah berbaur dengan perkembangan zaman dan urbanisasi modern.

Munculnya Versi Lain Asal-usul Nama Depok

Seiring perkembangan zaman, muncul berbagai versi alternatif mengenai makna kata “Depok”. Salah satu yang cukup populer adalah kepanjangan dalam Bahasa Indonesia yaitu “Daerah Permukiman Orang Kota.” Meski versi ini lebih bersifat modern dan tidak didasarkan pada sejarah, penggunaannya tetap sering terdengar dalam konteks kekinian.

Namun, fakta sejarah tetap mencatat bahwa akar nama “Depok” berasal dari visi dan kontribusi seorang tokoh Belanda yang tak hanya peduli pada agama, tapi juga kemanusiaan. Kisah ini menjadi bukti bahwa kota-kota besar di Indonesia memiliki sejarah panjang dan kompleks yang layak untuk dipahami lebih dalam.

Kesimpulan

Depok bukan sekadar nama kota. Ia adalah simbol dari perjalanan sejarah, kemanusiaan, dan kepercayaan. Kisah Cornelis Chastelein dan para mantan budaknya memberikan pelajaran penting bahwa keadilan dan kasih sayang bisa menciptakan warisan yang bertahan berabad-abad lamanya.

Ingin mengenal lebih dalam tentang sejarah kota lain di Indonesia? Tetap ikuti artikel-artikel sejarah kami yang mengupas kisah tersembunyi di balik nama-nama tempat yang mungkin sudah sangat familiar di telinga Anda.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved