Sumber foto: Google

30 Lembaga Internasional Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Tanggal: 17 Mei 2025 22:22 wib.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jane Rosalina mengungkapkan bahwa 30 lembaga internasional menolak usulan agar Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto menerima gelar pahlawan nasional. Penolakan tersebut disampaikan melalui sebuah joint statement yang ditandatangani oleh seluruh lembaga yang tergabung. Pernyataan tersebut mencerminkan keprihatinan terhadap warisan sejarah dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama rezim Soeharto.

Ketika berita mengenai usulan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto mulai mengemuka, berbagai pihak di dalam dan luar negeri mulai bersuara. Jane Rosalina, selaku pengamat politik, menegaskan bahwa meskipun banyak yang menghargai kontribusi Soeharto dalam stabilitas politik Indonesia, banyak juga yang menginginkan keadilan bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia di era tersebut. Dia menyebutkan bahwa penolakan oleh 30 lembaga internasional ini adalah bentuk solidaritas terhadap mereka yang merasa dirugikan selama masa pemerintahan Soeharto.

Beberapa lembaga internasional yang ikut menandatangani penolakan ini termasuk organisasi hak asasi manusia terkemuka dan lembaga penelitian yang mengkhususkan diri pada masalah sejarah dan politik. Mereka menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bisa dianggap sebagai pengabaian terhadap hak-hak para korban rezim yang berujung pada tindakan represif selama 32 tahun. Penandatanganan joint statement ini menunjukkan bahwa konteks internasional juga memengaruhi sikap masyarakat terhadap tokoh-tokoh sejarah.

Konteks penolakan ini tak terlepas dari banyaknya laporan dan dokumentasi mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto. Berbagai bentuk pelanggaran seperti penghilangan paksa, penangkapan sewenang-wenang, serta tindakan kekerasan terhadap oposisi politik telah tercatat dengan jelas dalam sejarah. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang serius akan kelayakan Soeharto untuk mendapatkan status sebagai pahlawan nasional di tengah catatan kelam tersebut.

Dalam joint statement yang dikeluarkan, 30 lembaga internasional ini juga menekankan pentingnya dialog dalam masyarakat tentang sejarah bangsa. Mereka menyerukan agar langkah-langkah rekonsiliasi diambil untuk mengakui dan mengingat para korban yang kehilangan nyawa dan hak-hak mereka selama era Soeharto. Beberapa lembaga mengingatkan bahwa pengakuan akan sejarah yang kelam adalah langkah penting menuju perbaikan dan keadilan sosial.

Kegiatan pencarian kebenaran dan keadilan di Indonesia, terutama yang berhubungan dengan pelanggaran hak asasi manusia, tidak bisa dipisahkan dari penilaian terhadap tokoh sejarah seperti Soeharto. Selama ini, pro dan kontra mengenai warisan Soeharto masih menjadi bahan debat yang hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Lembaga internasional melihat penolakan ini sebagai kesempatan untuk mendorong pemahaman yang lebih dalam tentang pentingnya akuntabilitas dalam sejarah.

Jane Rosalina mendorong agar diskusi ini tidak hanya berfokus pada perdebatan gelar pahlawan nasional, tetapi juga meliputi usaha untuk memahami kompleksitas dan berbagai perspektif terkait kepemimpinan Soeharto. Hal ini penting untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan menyadari sekaligus menghargai nilai-nilai hak asasi manusia.

Dengan dukungan dari 30 lembaga internasional yang menolak usulan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, diharapkan akan muncul kesadaran baru di masyarakat tentang pentingnya menanggapi sejarah dengan kritis dan bijaksana. Penolakan ini jelas menjadi sinyal bahwa dialog dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia tetap menjadi penting dalam konteks pembangunan bangsa.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved