Tahan Baper Jika Menonton Film Dilan 1990

Tanggal: 28 Jan 2018 23:10 wib.
Ingin kembali lagi ke masa SMA! Itu mungkin menjadi salah satu ke-baperan yang terjadi setelah kalian menyaksikan film Dilan 1990. Dengan catatan, jika kamu sekarang bukan anak SMA lagi ya. Hahaha. Film ini adalah salah satu film yang memang sudah ditunggu-tunggu oleh penikmat film, tapi di lain pihak sebenarnya film ini juga menjadi salah satu keraguan dari para penggemar novelnya. Mengapa ragu? Karena mereka ragu apakah kisah Dilan, bisa tervisualisasikan sesuai dengan apa yang disajikan oleh Pidi Baiq penulisnya. Karena sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, jika kisah novel dijadikan film, bisa ada dua kemungkinan. Film tersebut akan berhasil sangat sukses jika memang peralihan dari rangkaian tulisan menjadi rangkaian gambar sesuai atau bahkan sempurna. Namun, bisa gagal atau mendapat banyak cibiran, jika rangkaian gambar justru malah merusak kualitas isi novel yang sudah terbangun di benak para pecintanya. Nah, ternyata aku lupa bahwa ada banyak alasan mengapa orang-orang mau menyaksikan sebuah film. Bisa karena tertarik dengan pemainnya, lokasi pembuatan filmnya, sutradaranya, rumah produksinya, atau alasan lain di luar karena film tersebut diadaptasi dari sebuah novel. Dan hari ini terbukti bahwa keraguanku atas dibuatnya film ini tidak terbukti. Betapa antrian panjang di bioskop sungguh luar biasa. Bahkan hingga menutupi pintu masuk studio-nya! Sungguh tinggi minat masyarakat untuk menyaksikan film ini. Entah faktor mana yang membuat mereka rela berlama-lama mengantri tiket untuk menyaksikan film yang satu ini.

 

Sebenarnya sungguh mudah jika memang kalian ingin mengetahui alur cerita dari film Dilan 1990. Tinggal ke toko buku, beli novelnya, lalu baca. Tapi, bagi yang lebih suka hal yang praktis, di sini aku akan coba ulas dan ceritakan beberapa hal mengenai film ini ya. Dimulai dari para pemainnya. Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Priscilla berhasil membawakan perannya sebagai Dilan dan Milea. Dilan dan Milea, kini bagaikan icon pasangan seperti Cinta dan Rangga, Galih dan Ratna, atau Romeo dan Juliet! Dilan yang anak motor namun puitis, juga Milea sosok yang mandiri berhasil membuat cerita film ini ‘terasa’ oleh para penontonnya. Namun, tentunya peran mereka bukan berhasil karena kemampuan acting  saja. Justru kekuatan dari film ini sebenarnya adalah dialog-dialog yang berisi semacam kuotes-kuotes yang dibawakan oleh Dilan. Lihat saja, kini di media sosial banyak beredar gambar-gambar dengan dialog Dilan, ada yang memang dialog aslinya, namun tak sedikit juga yang menjadikannya parodi. Bukan hanya kuotesnya yang menjadi kekinian saat ini. Di media sosial juga banyak beredar potongan film-nya versi parodi. Dari fenomena ini dapat kita lihat, betapa masyarakat sangat antusias dengan kehadiran film ini.

 

Film dengan lokasi pengambilan gambar di Kota Bandung ini juga melibatkan Bapak Walikota Bandung sebagai salah seorang cameo-nya lho! Mungkin, ini bisa jadi adalah salah satu faktor yang membuat orang ingin menonton film ini. Kembali lagi ke ulasan film. Intinya, ini adalah kisah romantika anak SMA di tahun 1990 yang hampir sama seperti kisah romantis pada umumnya. Yang awalnya belum saling suka, lantas kemudian jadi saling suka dengan menghadapi berbagai dinamikanya. Nah, cara penulis membawakan alur cerita yang membuat film ini menarik. Ada banyak hal yang bisa membuat penonton tertawa dan terhibur ketika menyaksikannya. Bahkan aku juga sempat berpikir bahwa genre film ini mungkin komedi romantis. Komedi romantis yang mungkin bisa membuat orang-orang yang sudah tidak duduk di bangku sekolah ingin kembali lagi ke masa itu. Film yang mungkin akan membuat baper jika ditonton sendirian. Seperti salah satu kuotes yang terkenal dari Dilan yang sudah diparodikan, “Jangan nonton film ini sendirian, berat!”

 

Jujur, yang membuatku merasa agak ‘berat’ adalah, ketika melihat ada penonton film yang masih di bawah usia 13 tahun (sebagai catatan film ini diperuntukkan bagi penonton usia 13 tahun ke atas). Dalam film ini ada adegan-adegan yang memang tidak cocok untuk anak-anak. Mengapa tidak cocok? Dalam film, penulis mengemas cerita mungkin tidak semua hal menunjukkan hal yang positif. Bisa jadi, ada hal-hal negatif yang ada dalam cerita. Nah, bagi orang dewasa, mungkin bisa memiliki ‘imunitas’ atau filter terhadap hal negatif tersebut karena paham bahwa yang ditiru bukanlah hal negatifnya. Nah, untuk anak-anak, tentu belumlah memiliki ‘imunitas’ seperti para orang dewasa. Bisa jadi justru yang menjadi fokus mereka adalah hal negatifnya.

 

Jadilah penonton yang bijaksana. Jika kamu ingin menyaksikan film ini, pastikan tidak bersama anak di bawah umur. Pastikan juga agar kamu memiliki ‘imunitas’ terhadap dampak-dampak yang mungkin timbul usai menyaksikan film ini. Dampak yang paling mungkin membutuhkan imunitas tinggi adalah baper-nya!
Copyright © Tampang.com
All rights reserved