Belajar Mensyukuri Emosi dari Serial Beautiful Mind (2016)

Tanggal: 14 Apr 2018 17:30 wib.
Emosi, adalah hal yang rasanya tak lepas dari keseharian kita. Tak pandang usia! Bahkan sejak bayi! Sejak lahir, manusia sudah dikaruniai Tuhan untuk dapat mengungkapkan emosi dan juga merasakan emosi yang dia tangkap dari lingkungannya. Bahkan bayi dapat melakukan ini! ketika ia merasa kelaparan, ia akan menangis untuk mengekspresikan emosinya. Ia kemudian menghentikan tangisnya ketika sang ibu datang memberi susu atau tersenyum padanya. Bayi dapat merasakan emosi sayang yang ditunjukkan oleh orangtuanya.

Sejak dahulu, kita sudah merasakan berbagai emosi. Namun sejalan perjalanan hidup, tak jarang terdengar seseorang yang mengeluhkan tentang emosinya. Mengapa harus ada sedih? Mengapa harus ada rasa takut? Mengapa harus ada rasa cemas? Mengapa tak setiap saat adalah bahagia saja? Nah, untuk yang pernah mengeluhkan ini, ada sebuah film yang bisa menggambarkan betapa emosi adalah sebuah karunia. Film ini adalah film serial dari Korea Selatan yang ditayangkan Juni hingga Agustus 2016.

Dikisahkan ada seorang dokter ahli bedah saraf yang mengidap antisosial disorder. Ia berusaha menjalankan rutinitasnya dengan normal tanpa terganggu dengan label disordernya. Dokter ini, memiliki keterampilan yang sangat bisa diperhitungkan, ia sangat handal dalam mendiagnosa pasien dan juga ia dapat melakukan berbagai operasi yang cukup sulit. Awalnya ia bisa melakukan berbagai aktivitasnya seperti orang kebanyakan, walaupun karena disordernya, sebenarnya ia kesulitan mengekspresikan dan mengidentifikasi berbagai emosi. Supaya dokter ini bisa survive, sejak kecil ia belajar mengidentifikasikan emosi dari gambar, buku, dan berbagai teori dari sang ayah. Ia kemudian mempraktikkan ‘ilmu’ tersebut dalam berinteraksi dengan orang-orang di lingkungannya. Ia berusaha mengenali emosi dari gerakan alis, sikap tubuh, dan berbagai indikator lainnya yang tampak. Sampai-sampai ia mempelajari tentang air mata dan emosi apa yang menghasilkan airmata. Namun, lagi-lagi karena disordernya, yang ia tak bisa adalah bagaimana menangis! Di satu eposode ia berusaha menunjukkan ekspresi bagaimana seseorang menangis, hingga sang guru ‘menyangka’ ia benar-benar bersedih karena sesuatu.  Ia memang cukup berhasil dalam mengidentifikasi emosi berdasarkan ‘penampakan’ bahasa tubuh seseorang. Namun, sebenarnya ia (masih) kesulitan dalam menangkap emosi tersebut ke dalam hati.

 

Rutinitas kerjanya, yang awalnya baik-baik saja, kemudian berubah ketika identitas disordernya terungkap dan terjadilah berbagai konflik. Padahal, justru dokter ini benar-benar dapat mempraktikkan ilmu teori mengenai emosinya. Ia bahkan di akhir episode melakukan sesuatu yang heroik. Orang biasa saja belum tentu dapat melakukan hal tersebut. Pembelajaran emosi teorinya betul-betul sudah berhasil. Film ini mengajarkan kita, betapa kita yang dikaruniai emosi, adalah sebuah nikmat. Tak perlu kita belajar menangkap emosi dengan berbagai teorinya, karena kita bisa merasa. Perasaan kita dapat berjalan dengan sendirinya tanpa perlu kita ajari. Selain itu, sedih, senang, takut, kecewa, adalah rasa-rasa yang memang ada sebagai tanda bahwa kita (masih) hidup. Bagaimana, tertarik juga  untuk mempelajari teori identifikasi emosi lewat film ini?
Copyright © Tampang.com
All rights reserved