Spekulasi di Balik Teror Bom Kampung Melayu

Tanggal: 25 Mei 2017 13:44 wib.
Dua rentetan bom bunuh diri meledak di Terminal Bus Kampung Melayu, Jakarta Timur, Jakarta, pada 24 Mei 2017. Aksi teror yang terjadi sekitar pukul 21.00 WIB itu menewaskan 3 anggota Polri dan 2 warga sipil. Lantas, apa yang menarik dengan aksi teror ini?

Setiap aksi teror yang terjadi di belahan mana pun pastinya melahirkan sejumlah spekulasi. Masing-masing spekulasi tidak seluruhnya mutlak benar. Sekalipun demikian, dari setiap spekulasi memiliki bobot kebenarannya sendiri. Dan, meskipun pelaku aksi sudah ditangkap dan membeberkan motif teror yang dilakukannya, namun tidak serta merta mematahkan spekulasi yang berkembang sebelumnya.

Spekulasi yang lahir dari aksi teror Terminal Kamung Melayu ini adalah adanya upaya provokasi terhadap kelompok Islam. Spekulasi ini muncul dari peristiwa lain yang terjadi pada waktu yang sama.  Peristiwa tersebut adalah pawai obor yang akan melewati Terminal Kampung Melayu. Pawai obor yang diberangkatkan dari Petamburan, Jakarta Barat itu dimulai pada pukul 21.00 WIB atau hampir bersamaan dengan peristiwa teror di Terminal Kampung Melayu.

Sebenarnya, aksi teror yang berpotensi memanaskan suhu politik jelang awal bulan Ramadhan yang jatuh pada 27 Mei 2017 ini seharusnya sudah diprediksi sebelumnya. Seperti yang ditulis dalam Jokowi mau Gebuk PKI yang mana Indonesia beruntung, situasi yang terus memanas ini terjadi jelang bulan puasa yang jatuh pada 27 Mei 2017. Seperti tahun-tahun sebelumnya, suhu politik mereda selama bulan puasa. Tetapi, sejak hari ini sampai hari pertama puasa, potensi terjadinya bentrokan fisik cukup besar.”

Sampai saat ini bentrok fisik yang dapat meledak menjadi konflik horisontal belum terjadi. Namun demikian, meningkatnya suhu politik akibat bom Kampung Melayu telah meningkatkan kembali ketegangan politik pasca-20 Mei 2017. Karenanya, dari sisi waktu/timing, bom Kampung Melayu ini telah mengubah “budaya” lama politik di Indonesia yang biasanya mereda bila memasuki bulan Ramadhan. Dalam artian, bom Melayu digunakan untuk menjaga ketegangan tetap berlangsung.

Spekulasi penciptaan ketegangan dengan menyeret kelompok Islam ke dalam skenario konflik horisontal sudah terlihat dalam 5 bulan terakhir. Skenario ini terbaca dari adanya sejumlah upaya memancing FPI dan ormas Islam lainnya untuk membuat kerusuhan. FPI dengan soliditas, militansi, dan kepatuhan anggotanya kepada pemimpinnya, Habib Rizieq Shihab (HRS) merupakan karakter ideal untuk dibenturkan dengan kelompok massa lainnya.

Pada 9 Mei 2017 beredar video yang merekam peristiwa ditangkapnya seorang provokator yang menghasut massa kontra-Ahok saat berlangsungnya sidang Ahok. Dalam video itu nampak seorang lelaki yang memakai rompi dengan tulisan “Polisi” pada bagian belakangnya.

Sementara, masih di ruangan yang sama nampak seorang lelaki tanpa baju. Dalam rekaman video tersebut disebutkan jika lelaki tanpa baju tersebut adalah provokator yang ditangkap. Menariknya, masih menurut rekaman video, dari pria yang ditangkap tersebut didapat Kartu Tanda Anggota Polri.

Dibawanya kartu tanda pengenal oleh provokator saat melakukan aksinya merupakan kejanggalan. Apalagi jika kartu identitas itu menunjukkan keanggotaannya dalam salah satu institusi. Dan, ditangkapnya provokator yang membawa KTA polisi bukan baru pertama kali terjadi. Sebelumnya pernah terjadi pada Agustus 2015. Celakanya, sampai saat ini belum ada klarifikasi dari Polri tentang dua peristiwa tersebut.

Belakangan ini ada sejumlah upaya menyeret FPI ke dalam benturan fisik. Dimulai dengan bentrokan yang terjadi selepas Aksi 411 yang terjadi pada 4 November 2016. Kemudian disusul dengan baku pukul antara kader PDIP dengan (katanya) anggota FPI pada 6 Januari 2017. Sebelumnya, pada 12 Januari 2017, massa FPI dicoba dibenturkan dengan massa Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI.

Jelang hari pencoblosan Pilgub DKI 2017 setidaknya ada 2 kali upaya provokasi terhadap FPI. Pertama, terjadi pada saat FPI menggelar kegiatan Isra Miraj di Cawang pada 15 April 2017. Saat itu sebuah mobil Toyota Avansa yang sedang terbakar bergerak mundur dan mengarah kepada jamaah yang tengah berkumpul. Di tengah kobaran api yang membakar mobil, pengemudi melompat keluar lantas melarikan diri.

Pertanyaannya, siapakah pengemudi mobil yang sangat berani dan tenang dalam menjalankan aksinya tersebut? Bukan hanya itu, pengemudi mobil memiliki perhitungan berskala detik. Ia tahu kapan membakar mobil, kapan memundurkan mobil, dan kapan harus melompat keluar dari mobil. Jika peristiwa di Cawang dikatagorikan ke dalam aksi teror, maka modus  tersebut terbilang baru karena belum pernah terjadi sebelumnya.

Seharusnya polisi dapat melacak pemilik mobil (bukan pelaku). Sebab, selain melihat nomor rangka dan nomor mesin, mobil memiliki identitas yang hanya diketahui oleh produsennya. Dari nomor yang dirahasiakan tersebut dapat diketahui nomor rangka dan nomor mesin. Selanjutnya, Polri dapat menelusuri pemiliknya, Cara inilah yang digunakan Polri saat mengungkap pelaku Bom Bali 1.

Dan, pada 18 April 2017 atau sehari jelang hari pencoblosan, terjadi bentrokan antara massa FPI dengan anggota GP Ansor di Kramat Lontar, Jakarta Pusat. Dan, pada hari yang bersamaan ribuan massa GP Ansor dari berbagai daerah telah berkumpul di Jakarta untuk menggelar Apel Kebangsaan dan Kemah Kemanusiaan di Bumi Perkemahan Ragunan, Jakarta.

Pertanyaannya, kenapa Ansor memilih waktu hajatannya bertepatan dengan pelaksanaan pencoblosan Pilgub DKI 2017?. Dan, kenapa Ansor memilih Jakarta yang saat itu tengah memanas sebagai lokasi kegiatannya?

Baca juga: Inikah Pola PKI yang Di Jiplak Ahoker

Dalam kacamata proxy war atau perang boneka atau dalam bahasa Jawa ‘nabok nyilih tangan”, saat ini FPI merupakan “boneka” yang sangat ideal untuk dibenturkan. Pertama, FPI memiliki pemimpin yang dipandang kharismatik oleh anggotanya. Kedua, anggota FPI dikenal militan. Ketiga, saat ini FPI mempu menyedot dukungan dari berbagai kelompok Islam lainnya. Dan, bisa dikatakan, saat ini FPI telah menjadi kutub tersendiri dalam peta kekuatan politik nasional.

Saat ini pun FPI tengah diterpa kasus chat mesum yang menyeret pimpinan FPI, Rizieq Shihab, diduga sebagai pelakunya. Tentu saja, kasus ini mendapat penyangkalan dan dianggap sebagai bentuk kriminalisasi oleh anggota FPI dan pendukungnya. Kasus chat mesum ini tentu saja berdampak pada menguatnya militasi anggota FPI dan meningkatkan solidaritas kepada FPI.  Karenanya, bisa dikatakan, kasus chat mesem sebagai upaya pengkondisian untuk menguatkan salah satu pihak yang dibenturkan.

Tetapi, apapun itu, proxy war yang semakin jelas ini akan merongrong Jokowi sebagai sasaran antaranya. Selanjutnya, proxi war akan disasarkan kepada NKRI.

 

Artikel tentang FPI Vs GMBI

http://www.kompasiana.com/gatotswandito/aneh-kapolda-jabar-bisa-kecolongan-bentrok-fpi-dan-gmbi_5878bd14537a61410917cd82 

Artikel tentang "intel" yang disusupkan dalam Aksi FPI

http://www.kompasiana.com/gatotswandito/intel-polisi-kok-culun-begini_55d7ef7f5b7b613710f6ebae
Copyright © Tampang.com
All rights reserved