Soal Presidential Threshold, Probowo Tinggal Menunggu Nasib di MK

Tanggal: 21 Jul 2017 14:29 wib.
Ada pengamat top markotop yang bilang kalau UU Pemilu direncanakan Jokowi untuk memunculkan capres tunggal. Tentunya, pikiran pengamat ini ngaco 100 %. Gampangnya, masa parpol di luar koalisi Istana tidak bisa berkoalisi untuk melahirkan capresnya.

Kemudian dikatakan juga kalau dengan menjadikan Jokowi sebagai capres tunggal maka peluang Jokowi untuk melanjutkan periode pemerintahannya akan lebih ringan. Kalau lebih ringan, mungkin benar, tapi ini pun bukan soal mudah karena pemenang pemilu harus mengantongi 50 % plus 1.

Pada 23 Januari 2014 Mahkamah Kostitusi mengabulkan judicial review UU No 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan Effendi Gazali. Dengan dikabulkannya gugatan tersebut, Pileg dan Pilpres 2019 dan seterusnya akan digelar serentak.

Karena pemilu digelar serentak dan pada hari itu jumlah raihan suara legislatif belum diketahui, maka logikanya sejak Pemilu 2019 presidential threshold tidak diberlakukan lagi. Ternyata logika itu salah. MK masih memberi ruang untuk diberlakukannya presidential threshold. Lantas, dari mana angka presidential threshold dihitung, bukankah hasil pileg belum keluar?

Ternyata, pemerintah mengusulkan presidential threshold dihitung menurut hasil pileg 5 tahun sebelumnya. Jadi, presidential threshold untuk Pilpres 2019 menggunakan hasil Pileg 2014. Sebelumnya, pada Pilpres 2009 dan 2014, pasangan capres-cawapres hanya bisa diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang memiliki sedikitnya 20 % jumlah kursi DPR RI atau minimal 25 % suara.  

Kalau usulan pemerintah itu diterima, konsekuensinya parpol baru tidak berhak mengusung capres-cawapres, bahkan untuk bergabung dengan parpol lama pun tidak bisa. Tetapi, bukan berarti tokoh yang berasal dari parpol baru tidak dapat dicapreskan atau dicawapreskan.

Perindo, misalnya, tidak bisa mencalonkan atau turut mencalonkan Hary Tanoesudibyo. Begitu juga dengan PSI yang mungkin akan mengusung Ahok sebagai capres dari partainya.

Kalau dipikir, usulan pemerintah ini tidak hanya berdampak pada parpol baru, tetapi juga parpol lawas. Saat ini, peta politik sudah bergeser jauh dari peta politik 2014. Koalisi Merah Putih yang pada 2014 lalu begitu menakutkan bagai macan yang siap menerkam Presiden Jokowi saat ini sudah loyo. Bisa dikatakan, saat ini KMP tinggal menyisakan Gerindra dan PKS. Sebaliknya, kekuatan Jokowi semakin hari semakin menguat.

Memang KMP bukan lagi kekuatan politik yang menakutkan bagi kubu Jokowi. Tetapi, bagaimana pun juga, sampai saat ini Prabowo Subianto masih menjadi pesaing terkuat bagi Jokowi pada Pilpres 2019 nanti. Dan, kalau pada Pilpres 2019 nanti keduanya kembali bertarung, tidak mustahil Prabowo yang akan keluar sebagai pemenangnya.

Hitung-hitungannya sederhana saja. Pada Pilpres 2014 Jokowi hanya menang atas Prabowo dengan selisih tipis: 53,15%-46,85%. Dengan situasi yang terjadi selama 2 tahun masa pemerintahannya, diperkirakan elektabilitas Jokowi tidak sekuat pada 2014.

Apalagi kalau ditembah dengan rumor-rumor yang selama ini berkembang dan terus berkembang. Bisa diperkirakan tingkat keterpilihan Jokowi saat ini sudah merosot jauh. Dengan kondisinya ini, jika head to head dengan Prabowo, Jokowi akan kalah. Inilah yang tidak diharapkan oleh kubu Jokowi. Untuk itu, kubu Jokowi menyiapkan dua skenario penjegalan Prabowo.

Skenario pertama dengan mengusulkan pemberlakuan presidential threshold yang merujuk pada hasil Pileg 2019. Skenario kedua dengan menggembosi kekuatan Prabowo. Skenario kedua ini dilancarkan dengan memecah pendukung Prabowo dengan membentuk poros baru.

Kalau berkaca pada peta kekuatan parpol dalam kontestasi Pilgub DKI 2017, jelas saat ni Prabowo hanya didukung oleh Gerindra dan PKS. Kalau perolehan suara kedua parpol tersebut pada Pileg 2014 digabung hasilnya hanya 18,6%. Jauh di bawah presidential threshold yang ditetapkan yaitu 25%. Tetapi, perolehan kursi kedua parpol tersebut melampaui 20 % jumlah kursi DPR RI. Dengan demikian, dipastikan Prabowo masih bisa maju sebagai capres pada Pilpres 2019.

Sementara, kubu Cikeas yang dimotori oleh SBY akan mengajukan figur penantang bagi Jokowi dan Prabowo. Siapa yang akan dijagokan kubu Cikeas, itulah pertanyaan yang paling menarik.

Selama RUU Pemilu belum diketok. Prabowo dan pendukungnya di DPR masih bisa melakukan perlawanan terhadap skenario yang akan melemahkannya. Dan, sekalipun RUU sudah ditetapkan menjadi UU, Prabowo pun masih berhak mengajukan judicial review ke MK.

Masalah, persoalan waktu akan menjadi kendala bagi Prabowo. Kalau penetapan UU Pemilu mepet waktunya dengan penyelenggaraan Pilpres 2019, maka sekalipun MK mengabulkan uji materi yang diajukan oleh Prabowo, belum tentu keputusan MK itu dapat diterapkan pada Pilpres 2019. Ini mirip dengan keputusan MK tentang pemilu serentak. Meski sudah diketok pada 23 Januari 2014, tetapi, pemilu serentak baru bisa diselenggarakan pada 2019.

Gagasan pemerintah dalam UU Pemilu ini sebenarnya sangat membingungkan. Bagaimana tidak. Jokowi seharusnya lebih mantap maju jika presidential threshold 0 %. Dengan demikian ia tidak akan dibebani dengan berbagai transaksi politik dengan parpol-parpol pendukungnya. Karenanya sangat aneh jika Jokowi justru ngotot dengan presiden threshold 20 %- 25 %.

UU Pemilu yang diajukan oleh pemerintah ini tentu saja sangat menguntungkan parpol-parpol gurem dan parpol yang tidak memiliki figur capres. Tidak mengherankan jika UU Pemilu mendapat dukungan dari partai kecil dan partai nir pemimpin kharismatik.

Sayangnya, jumlah parpol gurum dan parpol nir pemimpin kharismatik lebih mendominasi parlemen. Jadi jangan berharap DPR akan menolak UU Pemilu gagasan pemerintah Jokowi. Dan jangan berharap pula jika MK akan menganulirnya.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved