Soal 5.000 Senjata, Gatot Nurmantyo Benar

Tanggal: 27 Sep 2017 12:34 wib.
Awalnya akun @RadioElshinta mencuit, “Panglima TNI menyebutkan ada institusi tertentu yang mencatut nama Presiden untuk mendatangkan 5 ribu senjata secara ilegal. (ros)”.

Kemudian beredar suara Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saat berpidato di hadapan sejumlah purnawirawan perwira tinggi TNI di Cilangkap, Jakarta, pada 22 September 2017.

Dalam pidatonya, Gatot menyampaikan Informasi A1 tentang adanya rencana pembelian 5.000 pucuk senjata dari luar negeri oleh intitusi dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo,

Selang 2 hari kemudian Menko Polhukam Wiranto angkat bicara. Menurut penjelasannya, BIN membeli 500 pucuk senjata dari PT Pindad untuk kepentingan Sekolah Tinggi BIN.

Oleh media, penjelasan Wiranto tersebut diposisikan sebagai “pelurusan”. Sebagai akibatnya, informasi yang disampaikan oleh Gatot distempel tidak akurat, bahkan hoax.

Padahal, jika diperhatikan, penjelasan yang disampaikan oleh Wiranto belum tentu merupakan pelurusan atas informasi yang disampaikan oleh Gatot.

Kuncinya ada pada “intitusi”. Apakah intitusi yang dimaksud Gatot adalah BIN sebagaimana dalam penjelasan Wiranto? Jika bukan, maka penjelasan Wiranto bukanlah pelurusan atas informasi yang disampaikan Gatot.

Bahkan, Gatot tidak menyebut apakah institusi yang dimaksudnya “berbendera” negara, swasta, LSM, atau yang lainnya.

Saat ini, jika membaca sejumlah media dan kemontar-komentar pengamat, politisi, dan akademisi, posisi Gatot tengah terpojok. Bahkan, bisa dikatakan, Gatot tengah menjadi bulan-bulanan. Pernyataan Ketua Setara, Hendardi, yang menyebut Gatot sebagai Panglima TNI terburuk sebagaimana yang dikutip Metrotvnews.com memviral di berbagai jejaring sosial.

Gatot Nurmantyo pun dipojokkan. Bahkan tidak sedikit yang memintanya untuk mengundurkan diri. Tetapi, Gatot tidak tersudut. Apalagi dukungan untuk nyapres justru semakin menguat.

Posisi Gatot lebih menderita lagi sebab ia tidak mungkin mengungkapkan informasi yang dipasok kepadanya. Sebab, selain informasi tersebut bukan konsumsi publik, pembelian 5.000 pucuk senjata itu pun masih berupa rencana.

Sementara, Wiranto dapat dengan mudah menunjukkan bukti-bukti yang menguatkan penjelasannya. Bahkan, demi lebih memperkokoh buktinya, Wiranto dapat mengajak media dan netizen ke PT Pindad untuk membuktikan 500 pucuk senjata yang dipesan oleh BIN.

Pertanyaannya pentingnya, kerena tidak dapat membuktikan ucapannya, apakah Gatot bisa divonis telah melakukan kebohongan?

Pertama, Gatot menyampaikan informasi yang dikatakannya A1 itu dihadapan sejumlah purnawirawan perwira tinggi TNI. Gatot pastinya menyadari, jika para purnawirawan yang hadir tidak berada di satu “kotak” politik yang sama.

Selain itu, pasca-kontroversi nobar film G30S/PKI dan sejumlah sikap yang diambilnya dalam beberapa waktu sebelumnya, Gatot pun pastinya menyadari benar jika tidak semua hadirin berada di pihaknya. Bahkan, mungkin ada sejumlah hadirin dalam pertemuan itu yang tidak menyukainya.

Karenanya, dengan situasi yang disadarinya tersebut, kecil kemungkinan bagi Gatot untuk berbohong. Berbohong dalam situasi di mana Gatot tengah manjadi sorotan bahkan incaran merupakan sebuah blunder fatal.

Lagipula, intelijen belum tentu valid. Bahkan, sekalipun informasi tersebut dilabeli “A1”.

Misalnya, informasi CIA tentang adanya instalasi nuklir yang dimiliki oleh Irak. Informasi ini disebut-sebut sebagai “A1”. Tapi, sampai sekarang, keberadaan instalasi nuklir yang digembar-gemborkan oleh CIA dan Gedung Putuh tersebut tidak ditemukan.

Informasi A1 pastinya bukanlah rumor “warung kopi” sekelas unconfirmed rumour yang biasa dirilis oleh WikiLeaks. Untuk mendapat lebel A1, sebuah informasi pastinya telah melewati sejumjah tahapan dengan SOP yang sangat ketat.

Selain itu, tidak menutup kemungkinan bagi seorang Panglima TNI untuk memiliki jejaring intelijennya sendiri. Dari jejaring intelijen pribadinya itulah, Panglima TNI mendapat pasokan informasi atau mengonfirmasi sebuah informasi yang didapatnya.

Lagipula, terlepas dari benar atau tidaknya informasi yang disampaikan oleh Gatot, bangsa Indonesia memang harus meningkatkan kewaspadaannya. Sebab, Indonesia dengan posisi geografis, sumber daya alam, luas wilayah, populasi, dan lainnya tidak mungkin bisa menghindar dari pusaran konflik internasional.

Dan, jika mengamati sejumlah pemberitaan, saat ini perang di “dunia lain” tengah memanas. Penangkapan, pengusiran, bahkan pembunuhan atas mata-mata asing terjadi di sejumlah negara.

Agustus 2017 lalu, media memberitakan tentang sejumlah dokumen rahasia milik pemerintah Australia yang ditemukan oleh ASIO (Dinas Intelijen Australia) dari sebuah rumah di Canberra, Auatralia pada Oktober 2015.

Rumah tempat ditemukannya dokumen rahasia itu sosialita Australia-China, Sheri Yan, dan suaminya, Roger Uren, mantan pejabat tinggi dan diplomat Australia. Yan yang dicurigai sebagai mata-mata China itu ditangkap oleh FBI di New York beberapa waktu sebelumnya.

Sebaliknya, dalam kurun waktu 2010-2012, sedikitnya 20 informan CIA dihabisi di China. Salah seoarang di antaranya dibunuh di lapangan sebagai peringatan kepada informan lainnya.

Di tengah situasi Laut Tiongkok Selatan yang semakin memanas menyusul sederetan tindakan provokatif dari China maupun dari Amerika Serikat, Singapura telah mengizinkan pesawat mata-mata Amerika untuk beroperasi di angkasanya sejak akhir 2015 lalu.

Sementara, sejak beberapa tahun terakhir Indonesia banyak didatangi oleh Tenaga Kerja Asing (TKA) ilagal asal China. Karena ilegal, maka pemerintah tidak memiliki data tentang TKA tersebut. Berapa jumlahnya, di mana mereka bekerja, di mana mereka tinggal, bahkan identitas TKA ilegal asal China pun tidak diketahui.

Ironisnya, di tengah maraknya pemberitan tentang penangkapan TKA ilegal sal China, lima pekerja asal Cina ditangkap otoritas Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Kelima TKA asing yang menyaru dengan berpakaian militer itu ditangkap saat tengah ngebor di salah satu tempat di pangkalan udara yang merupakan kawasan strategis.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, diketahui salah satu dari TKA asal China itu berstatus ilegal. Sementara, empat pekerja lainnya mengantongi izin kerja dengan jangka pendek, yaitu enam bulan. Namun demikian, keempatnya tidak menjalankan aktivitas pekerjaan yang sesuai dengan izin yang terdaftar.

Jadi, meskipun TKA asal China tersebut berstatus legal, namun pada kenyataannya ada sebagian yang bekerja tidak sesuai dengan keterangan yang diberikannya kepada pemerintah.

Karenanya, isu yang sebenarnya harus diangkat adalah agresivitas China, bukan kebangkitan komunisme. Karena agresivitas China ini sudah menjadi sorotan di berbagai belahan dunia. Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Amerika, dan sejumlah negara lainnya menoroti persoalan ini. Sayangnya, mengangkat isu agresivitas China pastilah berdampak negatf pada etnis Tiong Hoa di Indonesia.

Jadi, jika mengacu pada kewaspadaan nasional, maka tidak ada yang salah pidato yang disampaikan Gatot kepada sejumlah purnawirawan TNI. Apalagi informasi itu disampaikan  dalam sebuah forum tertutup.

Tetapi, pelurusan yang dilakukan oleh Wiranto pun tidak salah. Sebab, setelah bocornya informasi yang disampaikan oleh Gatot, muncul berbagai spekulasi yang meresahkan masyaraat.

Salah satunya adalah spekulasi adanya pembentukan Angkatan Ke-V. Spekulasi ini sebenarnya lemah dan mudah dipatahkan, mengingat pembentukan Angkatan Ke-V pastinya dilakukan secara rahasia. Sementara, latihan militer, apalagi dengan menggunakan senjata api pastinya sulit dijaga kerahasiaannya.

Sebenarnya, opini yang saat ini menyerang Gatot, suatu saat dapat berbalik. Misalnya, jika suatu saat nanti aparat keamananan menemukan sejumlah senjata yang disembunyikan di suatu tempat (dengan catatan tidak terkait kasus terorisme), maka saat itu juga informasi yang disampaikan Gatot mendapat pembenaranya. Sekali lagi, kuncinya, Gatot tidak menyebut institusi yang dimaksudnya. 

http://www.kompasiana.com/gatotswandito/59cb0177356c895d4d592db2/soal-informasi-5-000-senjata-gatot-nurmantyo-masih-di-rel-yang-tepat
Copyright © Tampang.com
All rights reserved