Sebelum Berkoalisi dengan Prabowo, SBY harus Pikirkan 4 Faktor Ini.

Tanggal: 31 Jul 2017 14:27 wib.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ( IPR ), Ujang Komarudin, pertemuan SBY dan Praboeo sudah menunjukkan komunikasi dan kesamaan dalam pandangan yang mengarah pada koalisi pada pilpres 2019. Bisa jadi jika Partai Gerindra dan Demokrat berkoalisi, mereka akan mengusung pasangan Prabowo dan AHY.

Pasangan Prabowo dan AHY merupakan pasangan yang cocok karena menyatukan dua kekuatan, kekuaatan generasi tua dan generasi muda milenial" jelas Ujang.

Mungkin Ujang hanya mengamati kulitnya saja, tanpa mengingat-ingat sejumlah peristiwa yang terjadi sebelumnya antara SBY dan Prabowo. Tapi, mungkin juga Ujang hanya kurang bacaan.

Dalam politik, “Tidak ada lawan atau kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan” itu sudah biasa. Tetapi, biasa belum tentu mutlak 100% seperti itu.

Wiranto dan Prabowo yang berseteru sejak 1998 sampai sekarang belum juga akur. Partai yang dipimpin kedua elit politik nasional pun belum pernah sekali pun berkoalisi. Bisa jadi perseteruan antara keduanya sudah sedemikan mengakar, bahkan mengarat, hingga tidak mungkin dicabut atau dibersihkan lagi.

Demikian juga dengan SBY-Prabowo. Sekalipun tidak separah hubungan Wiranto-Prabowo, hubungan SBY-Prabowo pun diwarnai sejumlah pertentangan.

Tidak usah menengok kembali ketika SBY menyebut Prabowo sebagai Drakula pasca bom Ritz-Marriot pada 2009. Tidak usah juga mencari-cari jejak sebelumnya. Cukup melongok pada awal 2013.

Jika kembali ke awal 2013, di mana Indonesia memasuki tahun politik dan suhu politik mulai memanas jelang Pemilu 2014, terekam sejumlah pemberitaan tentang sejumlah kader Partai Demokrat yang berupaya mencegah pencapresan Aburizal Bakrie dan Prabowo. Googling saja dengan kata kunci "demokrat cegah ical prabowo pilpres"

http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/02/27/mivr69-demokrat-seharusnya-anas-bisa-cegah-ical-dan-prabowo-di-pilpres

http://news.detik.com/berita/2181506/misi-demokrat-ganjal-prabowo-ical-ini-kata-gerindra?991104topnews=

https://nasional.sindonews.com/read/722360/12/demokrat-berencana-jegal-ical-prabowo-jadi-presiden-1361973625

http://lifestyle.kompas.com/read/2013/02/27/19213454/Anas.Gagalkan.Capres.Demokrat.Hadang.Ical.dan.Prabowo

Kader-kader Demokrat, pastinya tidak mungkin mewakili partainya tanpa restu, setidaknya sepengetahuan, dari SBY selaku Ketua Umum Demokrat. Dari sini bisa ditarik kesimpulan jika SBY tidak menghendaki Prabowo menjadi RI 1.

Dan, sekalipun Prabowo menggandeng Ketua Umum PAN Hatta Rajasa sebagai cawapresnya, SBY tidak mengarahkan partainya untuk mendukung pasangan Prabowo-Hatta. SBY pun menyatakan partainya netral dalam perhelatan Pilpres 2014.

Bukankah Hatta merupakan besan dari SBY sendiri. Bukankah Hatta juga mertua dari anak kandung SBY sendiri. Bukankah Ketum PAN itu juga ayah dari menantu SBY sendiri dan kakek dari cucu SBY sendiri.

Sebaliknya, SBY pun tidak mungkin mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Sebab, di balik pasangan tersebut ada sosok Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Dan, sudah menjadi rahasia umum jika hubungan SBY-Megawati sudah retak jelang Pilpres 2004.

Di level “elit”, seperti Pilpres dan Pilgub DKI, sebenarnya, antara Demokrat dan PDIP sempat berencana berkoalisi dalam Pilgub DKI 2012.

Ketika itu, Demokrat yang dipimpin Anas Urbaningrum sudah menyetujui kader PDIP Adang Ruhyatna untuk mendampingi Fauzi Bowo. Tapi, hanya beberapa hari jelang batas akhir pendaftaran calon gubernur-wakil gubernur, PDIP menarik Adang dan mengajukan Joko Widodo sebagai cagub. Jokowi dipasangkan dengan kader Gerindra Dedi Mizwar.

Namun, hanya sehari jelang batas akhir, Gerindra mencoret Dedi dan menyodorkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Karuan saja Megawati dan Jokowi menolak Ahok. Tetapi, PDIP tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima Ahok untuk dipasangkan dengan Jokowi.

Sampai sekarang alasan Gerindra memilih Ahok masih menjadi misteri. Apalagi ketika itu Ahok bukanlah kader Gerindra tetapi kader Golkar dan merupakan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar.

Demikian juga dengan Demokrat dan Gerindra. Dalam Pilgub DKI 2017 lalu, SBY sempat berkomunikasi dengan Prabowo. Sayangnya, upaya untuk berkoalisi langsung berantakan.

Sederhananya, SBY tidak mendukung Prabowo karena persoalan masa lalu Prabowo. Di sisi lain SBY pun tidak mendukung Jokowi dikarenakan persoalan pribadinya dengan Megawati.

Tapi, pertanyaannya, apakah mungkin SBY mengubah sikapnya jika Prabowo mau menerima Agus Harimurti Yudhoyono sebagai cawapres?

Pertanyaan ini menarik, sebab, untuk level Pilgub (Pilgub DKI) saja Prabowo menolak AHY, apalagi untuk sekelas Pilpres. Entah, jika di kemudian hari Prabowo pun berubah pikiran.

Tetapi, perubahan sikap SBY dari yang semula menentang Prabowo menjadi pendukungnya pastinya akan membuahkan sejumlah permasalahan baru, bahkan mungkin konflik baru.

Pertama. Konflik di antara internal Demokrat sendiri. Sudah menjadi rahasia umum jika sejumlah kader, terutama kader muda Demokrat memandang Prabowo sebagai pelaku penculikan aktivis pada 1997-1998. Jika Demokrat mendukung Prabowo, maka mesin politik Demokrat tidak akan berjalan mulus.

Lihat saja sejumlah kicauan Wasekjen Demokrat Rachland Nashidik lewat akun twitternya @ranabaja. Ada sejumlah twit Rachland yang menolak Prabowo dengan alasan terlibat dalam kejahatan HAM.

 



 

Kedua. Jika SBY menjodohkan AHY dengan Prabowo, maka SBY dianggap telah membuka front baru dengan jenderal-jenderal purnawirawan pro-Wiranto. Celakanya bagi SBY, pro-Wiranto saat ini tengah menduduki kekuasaan.

Benar dalam pagelaran Pilgub DKI 2017, Prabowo berhasil memenangkan pasangan yang diusung partainya yang berkoalisi dengan PKS.

Terapi, perlu dicatat, Kemenangan Prabowo salah satunya disebabkan kerena faktor Ahok. Jika lawan dari Gerindra-PKS saat itu bukan Ahok, apakah Prabowo dapat mencicipi kemenangannya atas kubu Wiranto?

Apalagi, meski Ahok seorang triple minority (keturunan Tionghoa, beragama Kristen, dan pendatang) serta terseret dalam berbagai kasus, utamanya kasus penistaan agama, kemenangan Prabowo tersebut dilalui dengan susah payah.

Ketiga. Memajukan AHY dalam Pilpres 2019 pun bukan pilihan yang tepat bagi SBY. SBY pastinya tahu persis jika salah satu yang menentukan dalam mencapai tujuan dalam dunia politik adalah pencitraan.

Lantas, citra apa yang terbentuk bagi AHY yang lebih memilih mundur dari kemiliteran untuk maju sebagai cagub DKI, lantas kembali maju dalam Pilpres 2019? Bukankah sangat mudah membentuk citra buruk bagi AHY. Dan, sekali citra buruk tersematkan, sulit untuk menghapusnya.

Keempat, Pemilu 2019 akan digelar secara serentak. Jika AHY akan diusung sebagai capres atau cawapres Pilpres 2019, maka ia tidak mungkin terjun dalam Pileg 2019. Sementara, peluang AHY untuk lolos ke Senayan jauh lebih besar ketimbang masuk ke Istana negara.

Jika gagal dalam Pilpres 2019, panggung AHY hanya ada di wilayah aktivitas politik partainya. Karenanya, kalau SBY akan mengorbitkan AHYdi pentas politik nasional, maka pilihan Pileg atau Pilpres harus benar-benar dipertimbangkan secara masak.

Dari empat faktor di atas, sepertinya SBY tidak akan mengubah sikapnya kepada Prabowo dan tidak akan menduetkan AHY dengan Prabowo.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved