SBY, Belajarlah Perang pada Prabowo

Tanggal: 15 Feb 2018 11:59 wib.
Melalui rekaman video yang diunggahnya lewat akun Twitter-nya, SBY mengomentari kemunculan akun Twitter SBY palsu. Dalam video berdurasi sekitar 1 menit 4 detik yang diunggahnya pada 12 Februari 2018 tersebut, SBY menunjukkan foto layar akun palsu yang mengatasnamakan dirinya.

Sekitar empat hari sebelumnya, dalam jumpa pers di Kantor DPP Demokrat, Jakarta, SBY menyatakan akan menghadapi tuduhan atas keterlibatannya juga putra bungsunya Edgi Baskoro Yudhoyono) dalam kasus E-KTP seorang diri.

"Ini perang saya, this is my war. Perang untuk keadilan! Yang penting bantu saya dengan doa," kata SBY (Sumber: KOMPAS.COM).

Tetapi, dengan diunggahnya video tentang akun palsu tersebut, sepertinya SBY belum siap berperang. Atau, bisa jadi SBY yang merupakan lulusan terbaik AKABRI dan juga jebolan sekolah militer bergengsi di luar negeri salah dalam mengatur strategi.

Atas diunggahnya video tersebut, SBY terkesan reaktif dan emosional. Sebab, sebagai salah seorang tokoh pamuncak di negeri ini, SBY yang sudah mendeklarasikan perang tidak perlu menanggapi serangan remeh-temeh yang mengarah kepadanya.

Apakah SBY sudah tidak lagi percaya kepada orang-orang di sekitarnya, terutama kepada para buzzer Partai Demokrat yang menurut pengalaman dalam Pilgub DKI 2017 memang belum siap menghadapi serangan.

Kalau untuk menghadapi akun-akun tidak jelas saja SBY sampai harus turun gunung, pantas saja para buzzer Demokrat keteteran saat menghadapi serangan Antasari Azhar yang menuding SBY sebagai dalang pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen.

Padahal, seperti dalam artikel “Ini Dia Fakta Kunci Kalau SBY Bukan Dalang Kasus Antasari Azhar”, serangan Antasari tersebut begitu mudah dipatahkan.

Tetapi, deklarasi perang itu sudah dilontarkan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Karenanya, SBY tidak boleh surut barang selangkah pun. 

Sebenarnya, serangan yang saat ini dialamatkan ke arah SBY masih mengikuti pola serupa seperti pada serangan-serangan sebelumnya. Pola serangan yang sama juga digunakan untuk menghancurkan Prabowo Subianto. Dan, pola serangan itu sudah ditulis lewat artikel “Ada Kemiripan pada Pola Serangan yang Menyasar Prabowo dan SBY” ini.

Sayangnya, dalam menghadapi serangan, jurus yang diperagakan Prabowo lebih lebih jitu ketimbang SBY. Hal ini bisa dilihat dari tidak ada satu pun komentar yang keluar dari mulut Prabowo soal kasus Saracen yang mengaitkan Prabowo dengan kelompok penyebar kebencian atas dasar SARA dan pernyataan La Nyalla Matalitti yang mengaku diperas, bahkan dimaki-maki oleh Prabowo.

Padahal, kalau SBY mau lebih mencermati, serangan yang dibidikkan ke arah Prabowo sebenarnya hanyalah luncuran peluru-peluru berisikan khayalan tingkat rendah. Ada sekian banyak kejanggalan dan kelamahan pada setiap serangan yang mengarah ke Prabowo.

Tidak mengherankan jika sampai detik ini aparat kepolisian belum sekali pun memanggil Prabowo dalam kasus Saracen. Padahal sebelumnya pihak perwajiblah yang aktif membangun narasi adanya keterkaitan antara Prabowo dengan Saracen. Demikian juga dengan La Nyalla yang kemudian menarik sendiri tuduhannya.

Demikian juga dengan isi dari buku hitam milik Setya Novanto. Dalam buku hitamnya, Setnov menulis “Justice Collabolator”, “Nazaruddin” yang digarisbawahi, dan “USD 500.000”. Dua kata lain yang tertulis dalam buku hitam yang disebut laksana black box itu adalah “Ibas” dan “Ketua Fraksi”.

Pertanyaannya sangat begitu sederhana, jika kata “Nazaryddin” “USD 500.000”, Ibas” dan Ketia Fraksi” sudah lama ditulisakan Setnov dalam catatannya, tapi sejak kapan Setnov menuliskan “Justice Collabolator”?

“Justice Collabolator” pastinya dua kata yang baru ditulis setelah Setnov berkasus. Dua kata itu sangat tidak mungkin ditulisakan bersamaan dengan kata-kata lainnya. Bahkan kemungkinan besar kata-kata itu, termasuk “Justice Collabolator” baru dituliskan setidaknya setelah Setnov mulai mencium gelagat jika dirinya dibidik dalam kasus e-KTP. 

Karenanya, di luar kemungkinan adanya keterlibatan SBY dan Ibas dalam kasus e-KTP, catatan yang ada pada buku hitam milik Setnov tetap melahirkan game yang menarik.

Sekali lagi, sayangnya dalam perang yang dikumandangkannya sendiri, SBY dan orang-orang di sekitarnya seolah lepas kontrol atas situasi yang mengitarinya.

Pada 6 Februari 2018, SBY mengaku kalau dirinya memperolehi informasi tentangi adanya pertemuan yang patut diduga menjadi cikal bakal munculnya pernyataan Mirwan di dalam persidangan.

"Saya tahu, saya mendapatkan informasi dari sumber yang layak dipercaya (bahwa) menjelang persidangan, di mana terjadi tanya jawab antar Firman Wijaya dengan Mirwan Amir, ada sebuah pertemuan dihadiri sejumlah orang," kata SBY di kantor DPP Demokrat, Jakarta, KOMPAS.COM).

Namun demikian, dengan dalih berpotensi dapat membuat geger, SBY belum mau membuka informasi tentang konspirasi yang berupaya menjatuhkannya.  

Kemudian pada saat yang hampir bersamaan beredar surat yang pada intinya menjelaskan jika Mirwan Amir dipaksa oleh Firman Wijaya dan Saan Mustofa. Tujuannya tak lain agar pengajuan justice collaborator Novanto diterima oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Sumber: Metrotvnews.com). Surat yang mengatasnamakan Mirwan Amir sebagai pengirimnya itu ditujukan kepada Pemred Metro TV.

Jika mengacu pada pernyataan Pengacara SBY, Ferdinan Hutahaean, informasi yang diterima SBY sepertinya tidak jauh beda dengan isi surat yang mengatasnamakan Mirwan.

Bahkan, dari pernyataan Ferdinan yang mengaku akan melakukan validasi ke Lapas Sukamiskin, Bandung atas informasi yang diterima SBY terungkap adanya keterlibatan Anas Urbaningrum dalam konspirasi sebagaimana yang disebutkan oleh SBY. (Sumber: Merdeka.com).

Tidak menarik untuk membahas alasan digunakannya Metro TV sebagai media penyampai surat. Yang menarik adalah soal waktu di mana hampir beberengan dengan beredarnya isi surat yang mengatasnamakan Mirwan, SBY menyampaikan potongan informasinya.

Bukan itu saja, isu surat yang mengatasnamakan Mirwan seolah-olah dibuat untuk lebih menggamblangkan informasi yang oleh SBY disampaikan secara tidak utuh..

Tetapi, apapun itu, poin yang paling penting adalah informasi yang diterima SBY nyaris sama dengan isi surat yang beredar. Artinya, pengirim surat adalah orang yang juga mendapat pasokan informasi yang sama dengan yang diterima SBY.

Jika pengiriman surat tersebut di luar kendali SBY, artinya ada pengkhianat yang bersemayam di sekitar Cikeas. Tetapi, jika pengiriman surat itu di bawah kendali SBY, maka sepertinya ada yang salah dengan strategi perang yang dibangun oleh SBY.

Sebab, pertama, isi surat itu sebenarnya menguntungkan SBY karena secara tidak langsung menjelaskan informasi yang disampaikan oleh SBY. Dengan demikian, menjadi aneh jika kader-kader Demokrat justru memerangi beredarnya surat tersebut.

Kedua, Mirwan mengatakan jika pengirim surat bukan dirinya. Andi Arief pun lewat akun Twitter-nya sudah menegaskan jika bukan Mirwan pengirimnya. Bedanya, Mirwan membantah isi dari surat. sementara, Andi tidak secara benderang membantah subtansi dari isi surat. Dengan demikian, jika isi dari surat itu disebut hoax, maka informasi yang disampaikan oleh SBY pun secara otomatis termasuk hoax.

Entah siapa yang mengkreasikan skenario konyol soal konspirasi Sukamiskin yang malah membuahkan senjata makan tuan bagi SBY sendiri. Dan, dengan lewat isu ini, SBY diseret menuju killing ground.

Sudah semestinya SBY tidak gampang percaya kepada para pembisik yang berkeliaran di sekelilingnya. Buktinya, informasi yang dipasok pembisik SBY kalah akurat dengan artikel ini.

Mungkin SBY juga perlu lebih banyak lagi mencari informasi tentang kehidupan para napi di Sukamiskin. Kalau Anas mengatakan “Mudah banget untuk membuktikan pertemuan itu fakta atau hoax. Ada CCTV, buku tamu dan banyak warga yg bisa ditanya. *abah. Anas tidak salah. Karena tidak akan ditemukan rekaman CCTV, buku tamu di Sukamiskin yang dapat membuktikan adanya pertemuan tersebut.

Lagipula, kalau pun benar-benar terjadi, apa mungkin pertemuan itu digelar di Sukamiskin? Di Kompasiana ini saja ada sejumlah anggotanya yang mengetahui kehidupan di Sukamiskin. Bahkan bisa jadi informasi yang ditulis dalam laporan investigasi Majalah Tempo bersumber dari salah satu kompasianer.

Karenanya, jika SBY menyebutnya sebagai perang, maka SBY harus lebih berhati-hati setiap kali melontarkan pernyataannya. Terlebih jika pernyataan tersebut cenderung bersifat menyerang, seperti pernyataan soal adanya konspirasi Sukamiskin.

SBY pastinya menyadari jika saat ini keberpihakan media terlalu kentara. Perhatikan saja saat media ramai-ramai mengekspos pengakuan La Nyalla. Berapa media yang memberitakannya?  Berapa kali satu media memberitakannya? Sebaliknya, berapa banyak media yang memberitakan bantahan La Nyalla atas pengakuannya sendiri? Dan, berapa kali media tersebut memberitakannya?

Di sisi lain media lebih memilih mengemparkan dunia dengan berita tentang motor chopper yang baru dibeli Jokowi ketimbang menyoroti kelaparan yang terjadi di Asmat, Papua.

Lebih parah lagi. Baru terjadi di era pemerintahan Jokowi di mana pelaku kejahatan justru dicari-cari kebaikannya. Sebaiknya, korban kejahatan justru di-blow up kejelekannya. Contohnya adalah kasus pembacokan Hermansyah. Media menuliskan tentang pandangan positif warga terhadap pelaku pembacokan Hermansyah. Sebaliknya, media menggembar-gemborkan gosip yeng menyebut istri Hermansyah sebagai mantan PSK.

Pemberitaan media pastinya menimbulkan sentimen positif atau negatif. Sayangnya, porsi sentimen negatif lebih besar ditujukan kepada SBY ketimbang sentimen positif.

Tetapi, apa pun itu, dalam perang ini SBY harus sanggup memanfaatkan segala situasi dan kondisi yang dihadapinya. Termasuk jika kelak Ibas terbukti menerima uang hasil korupsi e-KTP dan memakai rompi orange.

Ini adalah perang asimetris yang harus dihadapi SBY. Dan, berkaca dari kekonyolan informasi tentang adanya konspirasi Sukamiskin plus surat yang mengatasnamakan Mirwan Amir, sudah waktunya bagi SBY untuk mengatur ulang strategi perangnya. Jika tidak, SBY akan menjadi sasaran empuk lawan-lawannya.

Dan, SBY pun tidak perlu malu-malu untuk meniru strategi perang Prabowo memilih bungkam saat serangan menerjangnya. Kalau pun gatal untuk tidak bicara, setidaknya SBY tidak gampang turun gunung.   
Copyright © Tampang.com
All rights reserved