Sangat Wajar Kalau PAN Mbalelo pada Jokowi

Tanggal: 26 Jul 2017 11:30 wib.
Belakangan ini posisi PAN di koalisi pemerintahan Jokowi tengah dibidik. PAN dianggap membangkang atas berbagai kebijakan yang diambil pemerintah, mulai dari arah polemik RUU Pemilu sampai PERPPU 2/2017.

Belum lagi dengan arah dukungan PAN pada Pilgub DKI 2017 yang berbeda dengan pilihan PDIP sebagai parpol penguasa. PDIP mengusung Ahok. Sementara PAN mendukung AHY. Setelah AHY tersingkir, PAN mengarahkan dukungannya pada Anies-Sandi

Sikap PAN yang mbalelo ini sebenarnya tidak aneh-aneh amat. Bahkan sangat wajar. Karena bagaimana pun PAN adalah organisasi politk, maka segala kebijakannya pastnya tidak lepas dari pertimbangan politis.

Jokowi semestinya sadar, kondisi politik tanah air di masa pemerintahannya berbeda dengan era sebelumnya. Sebelumnya, kader suatu partai akan mengikuti arah kebijakan partainya. Di masa sebelum Jokowi, sikap elit partai sama dengan sikap alit partainya.

Hanya ada satu preseden yang sempat terjadi di era SBY, di mana sikap elit PKS berbeda dengan kebijakan pemerintah SBY yang menaikkan harga BBM. Penolakan elit PKS ini kemudian diikuti oleh kader-kadernya.

Tapi, perlu diingat, pilihan sikap elit dan alit PKS tersebut dikerenakan keputusan SBY tersebut bukanlah kebijakan populer. Apalagi kebijakan itu diambil jelang masa Pemilu 2014. Dan, dengan penolakannya itu, PKS berupaya mengambil keuntungan. Hanya saja, sekalipun elit dan alitnya monalak kebijakan SBY, secara institusi PKS tetap mendukung pemerintah SBY.

Di era Jokowi, sejak 2012 telah terjadi polarisasi atau pengkubuan yang menjalar sampai akar rumput. Kondisi ini semakin menguat pasca-Pilpres 2014 dan semakin menjadi setelah memasuki masa Pilgub DKI 2017.

Polarisasi ini kemudian dinarasikan sebagai benturan antara pemerintah dengan umat Islam. Lebih jauh, pemerintah digambarkan sebagai rezim anti-Islam. Kader-kader PAN, baik elit maupun alit pastinya tidak lepas dari polarisasi.

Pada Pilgub DKI 2012, PAN mendukung Foke-Nara. Kemudian pada Pilpres 2014, PAN mendukung Prabowo-Hatta. Selanjutnya, pada Pilgub DKI 2017, PAN mengusung AHY-Sylviana Murni yang kemudian mengalihkan dukungannya kepada Anis-Sandi. Singkatnya, dalam 5 tahun terakhir, PAN tidak pernah seiring sejalan dengan Jokowi. Apalagi jika mengaitkan Jokowi sebagai kader PDIP.

Pilihan politik PAN dalam berbagai ajang pemilu tersebut sedikit banyak pastinya telah membentuk sikap kader-kadernya kepada Jokowi. Karenanya, sekalipun PAN bergabung dengan koalisi pemerintahan dan menempatkan kadernya dalam Kabinet Kerja, kader PAN tetap mengambil sikap oposisi.

Karakter PAN pastinya berbeda dengan karakter PKS. PKS berhasil membangun militansi para kadernya. Dengan militansinya itu, segala sikap yang diambil partai akan diamini oleh kader-kadernya.

Meski partai atau oknum PKS melakukan kesalahan, para kader tetap mendukung dan membelanya mati-matian. Bagi alit PKS, elit selalu benar. Bahkan ketika pembelaan itu sangat ganjil, rancu, atau ngawur, kader PKS tetap mempercayainya.

Terlebih PKS kerap membawa-bawa unsur keagamaan dalam berbagai keputusannya. Dengan begitu, setiap kebijakan yang diambil oleh elit, para kader menganggapnya sebagai “jalan Allah”, Kepercayaan ablosut para alit kepada para elit inilah yang disebut dengan taqlid buta.

PAN berbeda dengan PKS. Sekalipun berakar pada Muhammadiyah, PAN tidak mengaitkan unsur-unsur keagamaan dalam memyampaikan pesan-pesan politiknya. Karena itulah perbedaan pendapat merupakan hal yang lumrah bagi parpol yang didirikan oleh Amien Rais pada 1998 ini.

Bukan hanya, itu keluar-masuknya anggota pun tidak menjadi masalah. Tidak ada yang melontarkan sebutan kafir, antek zionis, ataupun antek yahudi  kepada anggota PAN yang lompat pagar ke parpol lain.

Karakter inilah yang pastinya menjadi pertimbangan PAN dalam menghadapi Pemilu 2019. PAN tidak mungkin berani melawan pandangan kader-kadernya atas kebijakan rezim Jokowi. Jika PAN mendukung Ahok-Djarot, menyetujui presidential threshold yang digagas pemerintah, dan mengiyakan PERPPU 2/2017, itu sama artinya PAN menentang arus pendukungnya sendiri.

Dari kondisi ini, PAN tidak akan mempermasalahkan jika Jokowi akan mendepaknya. Bagi PAN, menanamkan investasi politik pada kadernya lebih menguntungkan ketimbang berinvestasi pada pemerintahan Jokowi.

Jokowi pun semestinya sadar jika PAN tidak akan mendukungnya pada Pilpres 2019 yang rencananya digelar serentak dengan Pileg 2019. Jika mengacu pada Pilgub DKI 2017, pilihan PAN pun tidak berbeda, PAN kemungkinan akan membentuk koalisi bersama Demokrat, PPP, dan PKB. Jika koalisi terbentuk, PAN bisa mengajukan Zulkifli Hasan sebagai cawapresnya.

Koalisi Demokrat-PAN-PKB-PPP ini akan terbentuk jika keempat parpol tersebut menemukan capres yang layak bertanding dengan Jokowi dan Prabowo. Sayangnya, sampai hari ini belum ada satu pun nama calon dari keempat parpol tersebut yang pantas untuk diusung. Sementara, figur non parpol yang layak dimajukan, yaitu Gatot Nurmantyo, belum sekalipun diberitakan telah berkomunikasi dengan parpol mana pun.

Lepas dari segala tetak bengek urusan pemilu, perilaku parpol di Indonesia masih kental dengan bau pragmatismenya. Jokowi yang membutuhkan dukungan parlemen untuk menguatkan pemerintahnya mengambil PAN sebagai rekanan koalisi. Sebaliknya, PAN yang tidak berdarah-darah memenangkan Jokowi ingin mencicipi kekuasaan.

Jika diperhatikan, masuknya PAN dan Golkar (secara resmi) ke dalam koalisi justru membuat pemerintahan Jokowi sempoyongan. Beragam konflik internal kabinet baru bermunculan setelah koalisi Jokowi bertambah tambun sejak akhir 2015.

Pasalnya, koalisi yang terjadi hanya menyentuh para elit parpol, itu pun tidak seluruhnya. Sebaliknya, dengan semakin kacaunya pemerintahan Jokowi, tidak sedikit para pendukung Jokowi yang bergeser, bahkan berbalik arah.

Pergeseran para pendukung Jokowi ini setidaknya terlihat sejak Kejaksaan Agung terkesan lembek dalam mengusut kasus Papa Minta Saham yang menyeret nama Setya Novanto. Terlebih setelah Jokowi menggandengn Golkar masuk ke dalam koalisi. Bahkan terkesan mendukung pencalonan Setya sebagai Ketua Umum Golkar.

Kembali ke posisi PAN yang mulai digoyang. Bagi PAN, didepak atau tidak dari kabinet tidak menjadi soal. Jika ditendang, PAN hanya kelihangan sejumlah asset dan akses ke dalam pemerintahan yang tidak seberapa dibanding dengan potensi suara yang yang diincarnya pada Pemilu 2019.

Bagi Jokowi pendepakan PAN bukanlah persoalan mudah, Dicoretnya PAN pastinya akan mengosongkan 1 kursi kabinet. Kursi ini pastinya akan diperebutkan oleh PDIP, Nasdem, Hanura, PKB, PPP, dan Golkar. Jika Jokowi dinilai tidak adil, maka akan menciptakan konflik baru di antara parpol koalisi.

Masalah lagi, beberapa bulan lagi bangsa ini memasuki tahun politiknya. Satu tahun jelang pemilu, biasanya akan terjadi berbagai akrobat politik. Dan, tidak jarang dari akrobat para politisi itu yang menimbulkan kegaduhan. Tentu saja kegaduhan yang terjadi akan semakin merugikan pemerintah Jokowi. 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved