Pilpres 2019 Tanpa Capres

Tanggal: 21 Jul 2017 14:14 wib.
Lama tidak menulis, lama-lama gatal juga membaca banyak pernyataan dari banyak orang-orang yang dipredikatkan sebagai pengamat.

Salah seorang dari mereka bilang kalau pemindahan ibu kota merupakan strategi untuk menggembosi Anis Baswedan-Sandaga Uno.

What!!!

Memangnya pindah ibu kota seperti pindah kost yang sehari dua hari beres.

Perpindahan ibu kota memang sudah lama direncanakan. Menurut catatan sejarah, sejak masa Presiden Soekarno pun sudah diwacanakan. Rencana Soekarno ketika itu, ibu kota mau dipindah ke Palangkaraya.

Kemudian, Presiden Soeharto pun pernah merencanakannya. Berbeda dengan presiden sebelumnya, Soeharto merencanakan Jonggol sebagai pusat ibu kota.

Faktanya, sampai saat ini perpindahan ibu kota masih sebatas wacana. Terlebih kajian-kajian pun belum rampung seluruhnya. Kajian-kajian itu pastinya memakan waktu yang tidak sebentar.

Katakanlah kajian itu sudah selesai. Dan, katakanlah juga Presiden Jokowi sudah menetapkan perpindahan ibu kota ke suatu daerah. Tapi, perpindahan ibu kota tetap saja harus mempersiapkan sarana dan prasarana, Ini pun akan memakan banyak waktu. Tidak cukup 5 tahun untuk merampungkan persiapan perpindahan ibu kota.

Dan, pertanyaan paling gampang, memangnya pemerintah punya dana untuk memboyong ibu kota.

Dari logika sederhana saja sudah jelas kalau pernyataan pengamat itu ngawur babar blas.

Kalau mau ngawur-ngawuran saya juga bisa. Tapi, biarpun ngawur logika tetap dipakai. Jadi tidak bakal jdi bahan teryawaan.

Begini ngawur-ngawuran saya.

Pascapembacaan dakwaan tindak pidana korupsi e-KTP, muncul berbagai spekulasi. Salah satunya adalah pembubaran parpol yang diduga menerima aliran dana korupsi berjamaah ini.

Jika mengaitkan spekulasi ini dengan RUU Pemilu yang tengah dibahas oleh DPR RI, maka PemiluPresiden 2019 terancam tidak dapat diselenggarakan.

Dalam RUU Pemilu,pemerintah Jokowi mengusulkan masih berlakunya persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Menurut RUU usulan pemerintah ini, pasangan capres-cawapres hanya dapat diajukan oleh parpol atau gabungan parpol dengan total perolehan suara 25 % pada pemilu 5 tahun sebelumnya atau memiliki 20 % jumlah kursi DPR RI pada periode sebelumnya. Jadi, pada gelaran Pilpres 2019 presidential threshold mengacu pada hasil Pileg 2014.

Jika spekulasi yang mengatakan pembubaran parpol yang terlibat dugaan tipikor e-KTP ini benar, maka sembilan parpol yang duduk dalam Komisi II DPR RI periode 2009-2014 akan dibubarkan. Artinya, hanya Partai Nasdem, parpol baru dalam Pileg 2014, yang masih bertahan pada Pemilu 2019 nanti.

Celakanya, hasil Pileg yang diperoleh Nasdem jauh di bawah presidential threshold. Sementara parpol-parpol baru pada Pemilu 2019 nanti tidak mempunya hak untuk mengajukan capres-cawapresnya.

Pertanyaannya, mungkinkan Pipres 2019 tidak dapat digelar karena tidak ada satu pun parpol yang dapat memenuhi presidential threshold?

Ada yang menarik dengan artikel “KPK Harus Menyidik Parpol Yang Diduga Menerima Suap KTP-El agar MK Dapat Membubarkannya” yang dipublikasikan oleh Republika pada 10 Maret 2017. Artikel tersebut ditulis oleh Yusril Ihza Mahendra dalam lawatannya ke Hong Kong.

Dalam artikelnya tersebut Guru Besar Universitas Indonesia itu
mengatakan, “Dakwaan tindak pidana korupsi KTP elektronik (KTP-el) yang kini mulai disidangkan, diduga bukan hanya melibatkan terdakwa mantan pejabat Kemendagri, Irman dan Sugiharto. Namun, juga melibatkan politikus terkemuka dari berbagai partai politik.”

“Mahkamah Konstitusi, berdasarkan pasal 68 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi, berwenang untuk memutus perkara pembubaran parpol.Parpol bisa dibubarkan jika asas dan ideologi serta kegiatan2 parpol itu bertentangan dengan UUD 1945.

Memang menjadi pertanyaan, jika partai terlibat korupsi, apakah parpol tersebut dapat dibubarkan MK dengan alasan perilakunya itu bertentangan dengan UUD 45?” tambah pemeran Panglima Cheng Ho ini,

Namun demikian pakar hukum tata negara ini pun mengungkapkan
keraguannya bila parpol dapat dibubarkan karena terbukti menerima aliran dana korupsi e-KTP. Pertama, munurut perspektif hukum pidana, terkait kejahatan korporasi, kalau pun suatu korporasi terbukti melakukan kejahatan, yang dijatuhi pidana adalah pimpinannya.

Sementara, korporasi terkait tidak otomatis bubar. Begitu juga dengan parpol. Jika suatu parpol terbukti korupsi, maka hanya pimpinannya yang dijatuhi hukuman. Sementara partainya sendiri tidak otomatis bubar.

Kedua, menurut Pasal 68 UU MK dan Peraturan MK Nomor 12 Tahun 2014, hanya pemerintah yang memiliki legal standing untuk mengajukan perkara pembubaran parpol. Dari aturan tersebut mantan Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini pun mengungkapkan keraguaannya,

“Apakah mungkin pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang ini akan mengambil inisiatif mengajukan permohonan pembubaran parpol, termasuk membubarkan partanya sendiri, PDIP?”

Keraguan mantan Menteri Sekretaris Negara pada periode pertama
pemerintahan  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini cukup beralasan. Dari kacamata politik, sangat tidak masuk akal bila Presiden Jokowi mengajukan permohonan pembubaran parpol yang terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi e-KTP. Apalagi, salah satu parpol yang diduga terlibat adalah PDIP di mana Jokowi merupakan kadernya.

Dengan logika Jokowi tidak mungkin membubarkan partainya sendiri, termasuk PDIP, maka jelas kasus tipikor e-KTP ini, paling jauh, hanya menyasar ketua umum parpol, termasuk Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Dari logika tersebut, maka pada Pilpres 2019 nanti parpol-parpol masihdapat mengajukan jagoan capres-cawapresnya. Dengan demikian, spekulasi tentang pembubaran parpol yang menerima aliran dana korupsi e-KTP terbantahkan.

Bantahan atas spekulasi tersebut semakin kuat jika merujuk pada surat dakwaan jaksa yang tidak menyebutkan keterlibatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sebenarnya, menurut sejumlah media, PPATK sudah melaporkan hasil temuannya terkait aliran dana kasus e-KTP pada KPK.

Tidak disebutkannya laporan PPATK dalam surat dakwaan, untuk sementara waktu, dapat ditarik kesimpulan jika kasus korupsi e-KTP tidak akan memasuki wilayah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang diduga dilakukan oleh parpol. Hal ini menumbulkan pertanyaan sejumlah pihak.

Salah seorang di antaranya adalah Guru Besar Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita. Lewat akun Twitter-nya, Romli mengatakan, “Kepala PPATK sdh lapor KPK aliran dana 2,5 T ks e KTP ke KPK tapi tdk tercantum dlm srt dakwaan KPK.” Kicauan tersebut diunggah pakar hukum pidana lewat akun @rajasundawiwaha pada 14 Maret 2017.

Dengan demikian, semakin jelas kalau skandal e-KTP ini tidak akan mempengaruhi  parpol dalam menghadapi Pilpres 2019. Parpol atau gabungan parpol masih tetap bisa mengajukan pasangan capres-cawapres yang dijagokannya.

Biarpun sudah jelas. Kalau mau ngawur, boleh saja dong bikin pernyataan kalau Pilpres 2019 akan digelar tanpa pasangan capres-cawapres.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved