Kontroversi Sumber Waras: Mana yang Benar, Ahok atau BPK?

Tanggal: 25 Jul 2017 14:06 wib.
Sewaktu Ahok membabi buta menyerang BPK, banyak pendukungnya yang lebih membabi buta lagi. BPK pun menjadi sasaran bully para ahoker di berbagai jejering media sosial. Di mata para ahoker, BPK menjadi lembaga terngaco di dunia.

Salah satu front tersengit antara Ahok dan BPK adalah perbedaan soal lahan RSSW. Ahok keukeuh mengatakan jika lahan RSSW berada di Jalan Kyai Tapa. Kengototan Ahok ini berdasarkan pada alamat yang tertera pada sertifikat dan PBB.

Sementara, BPK melihat posisi lahan RSSW yang dibeli Pemprov DKI tidak bersinggungan dengan Jalan Kyai Tapa. Karena secara lokasi fisik tidak berada di Jalan Kyai Tapa, tetapi Jalan Tomang, NJOP pun seharusnya mengikuti NJOP Jalan Tomang.

Lahan RSSW awalnya satu bagian utuh. Kemudian, pada November 1970 lahan tersebut dibagi dua bidang. Satu bidang bersinggungan dengan Jalan Kyai Tapa. Satu lagi berhadapan dengan Jalan Tomang, dan tidak memiliki akses ke Jalan Kyai Tapa.

Lahan pertama memiliki luas 33.478 meter persegi. Lahan ini bersertifikat hak milik atas nama Sin Ming Hui. Lahan milik Sin Ming Hui inilah yang bersisihan langsung dengan Jalan Kyai Tapa.

Sedangkan lahan kedua seluas 36.410 meter persegi. Lahan kedua ini bersertifikat HGB atas nama Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Berbeda dengan lahan pertama, lahan kedua ini tidak bersenggolan dengan Jalan Kyai Tapa. Dan, lahan kedua inilah yang dibeli oleh Pemprov DKI (tepatnya mengambil alih hak gunanya).

Lantas, mana yang harus dijadikan patokan saat pembelian lahan. Berdasarkan alamat lahan atau berdasarkan pada posisi fisik lahan? Di sinilah perbedaan pandangan antara Ahok dengan BPK.

Untuk memutuskan dan menetapkan siapa yang benar di antara keduanya, menggunakan PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM.

Pada Bagian Kedua, Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah, Pasal 5 disebutkan “(c). letak tanah”. “Letak tanah” yang dimaksud pada pasal ini pastinya lokasi fisik tanah, bukan alamat tanah.

Jadi, dari pasal tersebut sudah jelas jika pengadaan tanah bukan berdasarkan pada alamat, akan tetapi pada letak tanah atau posisi fisik tanah.

Kemudian pada Pasal 42 (1). Pasal ini menyebutkan “Penetapan Lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dilampiri peta lokasi pembangunan.

“Peta lokasi” pada pasal tersebut pastinya berdasarkan letak tanah atau lokasi fisik tanah..

Lanjut. Pada Pasal 54 (1) disebutkan “Dalam melaksanakan kegiatanya sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) ketua pelaksana Pengadaan Tanah dapat membentuk satuan Tugas yang membidangi inventarisasi dan identifikasi; a. Data fisik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfatan tanah”.

Lagi-lagi disebut “fisik”. Artinya kembali mengacu kepada di mana lahan RS SW itu secara fisik berada, bukan pada alamat YKSW.

Lagi, Pasal 56 (1) mengatakan “Satuan Tugas yang membidangi inventarisasi dan identifikasi data fisik penguasaan,pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a melaksanakan pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah, meliputi: a. pengukuran dan pemetaan batas keliling lokasi; dan b. pengukuran dan pemetaan bidang per bidang”. 

Pengukuran batas keliling lokasi. Apakah alamat pada sertifikat bisa diukur? Tidak bisa. Karena yang bisa diukur adalah lokasi fisik tanah.

Dalam Pasal 56 menyebutkan juga “batas keliling lokasi”. Nah, di mana saja batas-batas keliling lahan RSSW yang dibeli Pemprov DKI? Apakah lahan yang dibeli itu berbatasan dengan Kyai Tapa seperti yang tercantum sebagai alamat dalam sertifikat tanah?

Jadi semakin gambalang. jika pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang dilihat adalah lokasi fisik lahan, bukan alamat lahan.

Karena dari lokasi fisik itulah ditentukan pemberian ganti rugi dan lain sebagainya. Bicara soal ganti rugi atau ganti untung pastinya tidak lepas dari soal anggaran. Berapa ganti rugi.untung yang lazim diberikan sehingga tidak merugikan negara atau menguntungkan pemilik lahan.

Kalau ada perbedaan, bagaimana? Adanya perbedaan pun dijabarkan dalam perpres tersebut. Hanya saja, sepembacaan saya, perbedaan yang dimaksud dalam Pasal 62 adalah perbedaan luas lahan yang ditentukan oleh batas-batas lahan bukan perbedaan sudut pandang antara “mazhab” Alamat dengan “mazhab” Lokasi Fisik.

Di sini Badan Pertanahan Nasional atau BPN-lah yang paling berperan dalam urusan tersebut. Demikian juga dengan zona NJOP. BPK tidak punya kewenangan untuk menentukannya. BPK hanya memeriksa proses transaksi dari awal sampai akhir.

Dalam kasus SW, BPK menemukan adanya kerugian negara sebagai akibat dari perbedaan zona lahan. BPK tidak melihat dari alamat lahan, tetapi lokasi fisik lahan. “What’s in a name,” kata Shakespeare. “Apa arti sebuah ‘alamat’” bagitu kata BPK.

Sesuai sertifikat, alamat RS SW memang tercantum “KIAI TAPA”. Dan Ahok boleh saja bersikukuh dengan beralasan alamat tersebut. Sebaliknya, BPK mengacu pada lokasi fisik lahan. Lokasi lahan secara fisik bukan berada di Kyai Tapa, bahkan tidak memiliki akses sama sekali dengan Kyai Tapa,

Memang benar, pemerintah telah menerbitkan Perpres No. 40/2014 tentang Perubahan Atas Perpres No. 71/2012. Yang diubah dalam Perpres No. 50/2014 hanya 2 pasal, yaitu Pasal 120 dan Pasal 121. Tetapi, untuk pasal-pasal tentang “lokasi lahan” tidak dirubah sama sekali. Jadi, untuk pembelian lahan RS SW, pasal-pasal dalam Perpres No 71/2012 masih berlaku.

Kalau mengacu Perpres No 71/ 2012, siapa yang ngaco, BPK atau Ahok?

Tapi, tunggu dulu. Ahok belum tentu juga ngaco. Bisa jadi dia tidak paham soal aturan main pembelian lahan. Kalau Ahok tidak paham, artinya KPK benar. Ahok tidak mempunyai niat jahat dalam transaksi lahan RSSW.

Atau mungkin hanya Ahok, ahoker, serta KPK yang memahami Perpres Nomor 71 Tahun 2012 dan Perpres No. 40/2014. Entahlah. Yang pasti sampai hari ini mereka belum masih ngotot soal denah lahan RSSW versi bersinggungan dengan Kyai Tapa.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved