Jokowi Setelah Perppu Ormas

Tanggal: 16 Jul 2017 13:35 wib.
oleh: DR Deny JA

Bagaimanakah kelak sejarah akan mengenang Jokowi setelah terbitnya Perppu Ormas (Perpu No 2 tahun 2017)? Seandainya karena kemampuan politiknya Perpu Ormas ini lolos dari judicial review MK dan disahkan pula oleh DPR, akankah Jokowi dikenang sebagai strong leader yang tegas mengambil sikap di era kegentingan?

Ataukah Jokowi akan dikenang sebagai tokoh yang membalikkan Indonesia ke era "demokrasi seolah olah," atau sebagai bapak anti hak asasi manusia?

Washington Post, 12 Juli 2017, koran kelas dunia, mengutip respon organisasi ternama Human Right Watch yang berbasis di Amerika Serikat. Menurut organisasi ini Perpu Ormas itu pelanggaran serius terhadap kebebasan hak asasi manusia.

Tempo.co menurunkan tulisan potensi bahaya perpu ini karena memberi kekuasaan terlalu besar kepada pemerintah membubarkan Ormas tanpa perlu lewat pengadilan? Dengan demikian, ormas tersebut tak diberikan hak membela diri, adu bukti atas tuduhan, sebelum ormas itu dibubarkan.

Namun tak kurang pula pendukung Jokowi soal Perpu Ormas itu. Mereka menganggap "ada kegentingan memaksa."UU ormas lama tak lagi bisa digunakan. Perlu jalan pintas Perpu agar ideologi yang anti Pancasila cepat dibubarkan sebelum membesar dan menelan Pancasila, NKRI, dan sejenisnya.

Para pengambil keputusan, juga tokoh berpengaruh yang peduli, selayaknya memang merenung lebih dalam. Sebenarnya Indonesia ini akan diarahkan kemana? Benarkah kita inginkan demokrasi modern dengan segala getahnya?

Dalam prinsip demokrasi, memang banyak hal seolah olah tidak efisien. Untuk membubarkan ormas sebagai misal harus bertele tele lewat sidang pengadilan. Tapi demokrasi memang dibangun untuk itu. Tak boleh ada kekuasaan yang merasa paling benar lalu secara sepihak bisa membungkam hak berserikat warga. Pengadilan ditemukan sistem demokrasi sebagai wadah untuk menguji siapa yang benar. kedua belah pihak diberi kesempatan dulu untuk adu data.

Dalam demokrasi, memang banyak hal seolah mengancam kelangsungan negara. Aneka paham dibolehkan hidup dan menyebar. Tapi demokrasi memang dibangun untuk itu. Soal keyakinan agama saja tak ada paksaan, apalagi soal pilihan ideologi.

Warga negara bebas memiliki keyakinan ideologinya. Demokrasi menyediakan ruang publik agar aneka paham itu bertarung secara damai. Biarkan rakyat yang kemudian memilih dalam pemilu. Sat satunya yang dilarang: tak boleh ada pemaksaan dan kekerasan.

Jika disederhanakan prinsip demokrasi itu seperti yang dinyatakan Voltaire: Saya tak setuju pendapat tuan. Tapi hak tuan menyatakan pendapat itu akan saya bela sampai mati.

Kita tak bisa membangun negara modern sambil memaksakan semua warga negara harus setuju pada satu paham saja. Walaupun paham yang kita maksudkan adalah ideologi negara. Kesadaran individu itu berevolusi dan tak bisa diseragamkan.

Namun negara harus tertib. Kebebasan dan keberagaman warga harus dilindungi. Karena tak semua individu itu buruk, dan tak semua pejabat negara itu malaikat, harus diciptakan sistem check and balance. Tak ada lagi prinsip "the king can do no wrong." Superman itu tak ada di dunia nyata. Raja dan presiden bisa salah.

Pengadilan adalah buah paling ranum peradaban modern untuk menguji siapa yang salah. Kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat terlalu penting untuk diberangus tanpa lewat pengadilan.

Kita memahami ada kekwatiran di sekelompok masyarakat akan meluasnya radikalisasi Islam. Sebelum terlambat, sebelum indonesia menjadi Suriah, dianggap harus ada "the act of statemanship." Presiden dianggap lembaga paling berwibawa mengambil jalan pintas, menerbitkan Perpu, karena kegentingan yang memaksa.

Persoalannya, benarkah ada kegentingan memaksa saat ini sehingga diperlukan sebuah Perpu untuk membubarkan ormas? Apa ukuran kegentingan memaksa itu?

Apa benar Pancasila terancam dan akan digantikan negara Islam, atau khalifah internasional? Mari kita uji dengan data, data dan data.

Mustahil pancasila bisa diganti tanpa lewat persetujuan DPR/MPR. Sementara  empat partai terbesar di DPR/MPR adalah PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat. Total 4 partai ini saia sudah di atas 50 persen. Mustahil 4 partai ini bersetuju dengan manuver mengganti Pancasila.

Mustahil Pancasila bisa diganti tanpa persetujuan opini publik. Silahkan cek hasil survei lembaga yang kredibel. Publik indonesia yang setuju negara Islam di bawah 10 persen. Di atas 70 persen menginginkan Pancasila.

Mustahil Pancasila bisa diganti tanpa mengalahkan TNI dan kepolisian. Mungkinkah TNI dan kepolisian menggunakan senjata untuk mengganti Pancasila?

Cukup dengan common sense itu saja, dapat kita pahami apa benar ada kegentingan yang memaksa sehingga diperlukan Perpu untuk membubarkan ormas (kebebasan berserikat) tanpa lewat pengadilan.

Jokowi bisa jadi sukses menggoalkan Perpu ini. Dengan team yang kuat, Jokowi mungkin sukses mengalahkan penggugatnya di Mahkamah Konstitusi. Jokowi mungkin sukses pula menggoalkan perpu itu di sidang DPR.

Namun Jokowi akan susah melawan palu godam sejarah. Justru semakin sukses Jokowi menggoalkan Perpu itu semakin pula Jokowi akan dikenang sebagai "problem" dalam sejarah evolusi demokrasi modern dan hak asasi manusia di Indonesia.

Kecenderungan meluasnya prinsip hak asasi manusia dan demokrasi modern terlalu kuat untuk dilawan oleh siapapun. Kutipan opini Human Right Watch yang dipublikasi Washington Post seharusnya cukup menjadi warning bagi Jokowi. ia tidak sedang melawan HTI. Tapi Jokowi sedang melawan prinsip hak asasi manusia dan demokrasi modern.

Justru karena kita cinta Jokowi, ia harus disapa. Cinta sejati seorang pendukung adalah mendukungnya ketika benar, dan mengeritiknya ketika salah arah.

Juli 2017

*DR Deny JA, Pengamat Politik dan Pendiri LSI
Copyright © Tampang.com
All rights reserved