J Kristiadi Cium Bau Kemenyan Kemenangan Jokowi. Masih Ada yang Percaya?

Tanggal: 18 Agu 2017 11:46 wib.
J Kristiadi mengaku sudah mencium bau “kemenyan” kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019.

"Bau kemenyan kemenangan Jokowi sudah terasa. Namun, parpol pengusung dan tim relawan harus mulai menyusun langkah-langkah apa yang harus dibuat untuk memuluskan Jokowi," ujar Kristiadi (Sumber: JPPN.com).

Menurut Kristiadi, indikator kemenangan sudah terlihat ketika fraksi-fraksi partai pendukung pemerintah berhasil meloloskan presidential threshold 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional hasil Pemilu 2014. 

Pengamatan pengamat beken itu sebelas-dua belas dengan penciumannya tentang Pilgub DKI 2017. Katanya, Ahok-Djarot bakal menang satu putaran karena ditopang mesin parpol pendukung yang solid dan bekerja all out (Sumber: Tribunnews.com).

Mungkin Kristiadi lupa jika dalam pilkada, pilpres, bahkan pileg, peran parpol dalam pemenangan calon tidak signifikan. Dalam pemilu, kemenangan calon lebih ditentukan oleh individu calon itu sendiri.

Dalam Pilpres 2014, Jokowi-JK yang didukung oleh koalisi parpol dengan jumlah suara lebih sedikit dari koalisi parpol lawannya mampu keluar sebagai pemenang,

Dalam Pilpres 2004, SBY-JK yang hanya didukung Partai Demokrat mampu lolos ke putaran kedua dengan suara terbanyak. Suara yang diraih SBY-JK lebih unggul dari pasangan Wiranto-Gus Sholah yang diusung oleh Golkar (pemenang Pileg 2014), Megawati-Hazim Muzadi yang didukung (PDIP), Amien Rais-Siswono Yudohusodo (PAN), dan Hamzah Haz-Agum Gumelar (PPP).

Alasan yang mendasari “bau kemenyan” kemenangan Jokowi saja sudah terbukti salah. Dan sudah terbukti dalam sejumlah pemilu, termasuk Pilgub DKI 2017. Karenanya, sangat aneh kalau Kristiadi masih ngotot mengulangi kesalahan analisanya.

Selain itu, Kristiadi pun tidak melihat jika mesin parpol penggusung Ahok tidak sepenuhnya solid. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah elit parpol yang memilih mendukung pasangan AHY-Sylviana atau Anies-Sandi.

Soal prediksi kemenangan Ahok pada Pilgub DKI 2017 sudah menggemuruh sejak pertengahan 2015. Dan, setelah CSIS merilis hasil surveinya, hampir semua media arus utama dan pengamat mencium aroma kemenangan Ahok. Kata mereka, Ahok bakal menang mudah

Padahal, dari rilis survei yang sama didapat kesimpulan yang berbeda, seperti yang ditulis dalam “http://www.kompasiana.com/gatotswandito/siapa-bilang-ahok-bakal-menang-mudah-dalam-pilgub-dki-2017-nanti_56a83a45b09273590f803808” yang diposting di Kompasiana pada Januari 2016.

Melesetnya penciuman pakar dengan sederet gelar akademik ini bukan sesuatu yang aneh lagi. Jelang Pilgub DKI 2017, misalnya, Profesor Hamdi Muluk, pakar psikologi politik asal UI yang sekaligus Ketua Lembaga Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk, mengatakan bahwa PDIP sedang dilema.

"Kalau ngotot lawan Ahok, habis PDIP," kata Hamdi di Menteng, Jakarta, Senin, 1 Agustus 2016. https://nasional.tempo.co/read/news/2016/08/02/078792445/pilgub-dki-hamdi-muluk-jika-ngotot-lawan-ahok-habis-pdip#P6zm1EOM4v7Y1BzU.99.

Opini Hamdi tersebut dibantah lewat artikel ini http://www.kompasiana.com/gatotswandito/tidak-dukung-ahok-pdip-habis_57a88ab88f7a61e31be8980a

Faktanya, meski telah mendukung Ahok, PDIP keok di sejumlah pilkada yang digelar serentak pada 2017. Artinye, pendapat pakar pun belum tentu benar. Atau setidaknya lebih benar dari orang awam.

Lucunya, Kristiadi membandingkan pencapaian Jokowi dengan SBY dalam penuntasan kasus korupsi.

"Masa sih lima tahun tidak tuntas-tuntas kasus Century? Karena itu pemerintahan Jokowi harus mengubah gaya seperti itu," katanya.

Kalau Kristiadi membandingkannya dari sisi itu, maka pertanyaannya bagaimana dengan penuntasan kasus raperda reklamasi?

Bukankah 5 April 2016 KPK mengatakan ada tersangka baru dalam kasus yang menyeret Sanusi dan Ariesman Widjaja, kolega sekaligus sahabat dekat Ahok. Kemudian KPK menegaskan lagi pernyataannya itu pada 25 April 2016.

Toh, sudah lebih dari 2 tahun, belum ada satu pun nama tersangka baru yang disebut KPK.

Pembandingan SBY-Jokowi dalam penuntasan kasus korupsi yang dilepaskan Kristiadi tersebut pastinya akan dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai amunisi untuk menyerang Jokowi. Akan banyak opini yang dibangun lewat pola pikir pengamat beken ini. Tunggu saja!

Tetapi, opini para pakar tetap akan menjadi alat propaganda pemenangan dalam pemilu. Opini pakar ini akan mendukung strategi kampanye lainnya, seperti kampanye tatap muka, iklan media, iklan luar ruangan, dan tentu saja rilis survei.

Jika tidak dikonter, opini pakar akan diterima sebagai sebuah kebenaran dan berfungsi sebagai vote getter.

Kekuatan dari para pakar yang mampu membangun opini inilah yang harus dilawan oleh para calon, terutama bagi yang kurang mendapat dukungan dari lingkungan kampus. 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved