Investigasi Allan Nairn Soal Kudeta Militer, Benarkah Bersumber dari Kalangan Intelijen?

Tanggal: 2 Mei 2017 15:16 wib.
Masih tentang investigasi Allan Nairn yang dipublikasikannya dalam Trump's Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President”. Nairn menglaim laporan yang dipublikasikannya tersebut bersumber dari informasi yang diberikan oleh komunitas intelijen dan Istana.

Salah satu isu yang dibeberkan Nairn dalam laporannya adalah keterlibatan sejumlah jenderal dalam rencana makar terhadap Presiden Jokowi. Bukan hanya itu, wartawan senoior asal Amerika serikat itu pun menyinggung keterlibatan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai pendukung rencana makar.

Menanggapi laporan Nairn yang disadur oleh Tirto.id dengan judul “Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar” tersebut, Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto membatahnya.

"Jadi mengenai tulisan Allan Nairn, saya menyatakan yang berkaitan dengan TNI itu hoax," kata Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto dalam perbincangan dengan detik.com, Jumat (21/4/2017).

Masalahnya, bukan saja pada kebenaran laporan yang dipublikasikan oleh Nairn, tetapi juga pada klaim Nairn yang mengaku mendapat informasi dari komunitas intelijen dan “orang dalam” Istana.

Nairn mengaku ada tujuh staf intelijen/militer aktif dan pensiunan yang mengungkapkan bahwa SBY menyumbang untuk aksi protes FPI, tetapi menyalurkannya secara tidak langsung. Salah satu informan yang disebut dalam laporannya adalah Laksamana (Purn) Soleman B. Ponto—bukan pendukung gerakan makar—mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) dan penasihat aktif Badan Intelijen Negara (BIN). "SBY menyalurkan bantuannya lewat masjid dan sekolah," kata Soleman.

Menurut Soleman, hampir semua pensiunan tentara dan sebagian tokoh militer  mendukung tindakan SBY tersebut. Soleman mengaku mengetahui hal ini karena—selain keterlibatannya di dunia intelijen—jenderal-jenderal pro makar adalah rekan dan kawan-kawannya, banyak di antara mereka berhimpun dalam grup WhatsApp "The Old Soldier".

Masih menurut Soleman, para pendukung gerakan makar di kalangan militer menganggap Ahok cuma pintu masuk, gula-gula rasa agama buat menarik massa. 

"Sasaran mereka yang sebenarnya adalah Jokowi," katanya.

Soleman pun menjelaskan, militer tidak akan melancarkan serangan langsung militer ke Istana Negara, melainkan "kudeta lewat hukum", mirip-mirip kebangkitan rakyat yang menggulingkan Soeharto pada 1998. Hanya, kali ini publik tidak berada di pihak pemberontak—dan tentara nasional Indonesia, alih-alih melindungi Presiden, lebih senang ikut menggerogotinya.

"Makar ini bakal kelihatan seperti pertunjukan People Power," ujar Soleman. "Tetapi karena semuanya sudah ada yang mengongkosi, militer tinggal tidur," dan presiden sudah terjengkang saat mereka bangun.

Skenario lain: Aksi-aksi protes yang dipimpin FPI bakal menggelembung kelewat besar, membikin Jakarta dan kota-kota lain kacau-balau, lalu militer datang dan menguasai segalanya atas nama menyelamatkan negara.

Sebenarnya yang disebut Soleman dalam investigasi bukan barang baru. Sebelumnya sjumlah artikel sudah menuliskannya. Di antaranya “Soal Makar, Kapolri dan Menhan Sama-sama Benar” yang ditayangkan pada 26 November 2016

Dalam artikel tersebut dituliskan, “Di mana-mana dan dari waktu ke waktu makar itu tidak gampang. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Tanpa dipenuhinya syarat-syarat itu kedeta atau makar hanyalah omong kosong belaka.

Syarat pertama, adanya momentum. Kalau pada isu-isu kudeta sebelumnya momentum itu tidak ada, kali ini momentumnya sudah ada. Bukan hanya sudah ada, tetapi juga sudah matang. Kalau disamakan dengan masa 1965-an, bisa dibilang “Ibu Pertiwi sudah hamil tua”.

Momentum itu berawal dari kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Sebenarnya kasus ini tidak beda dengan kasus-kasus penistaan agama sebelumnya. Persoalannya, Ahok berbeda dengan pelaku penista agama lainnya. Kalau pelaku lainnya tidak berpredikat sebagai pejabat publik, sebaliknya Ahok adalah Gubernur DKI Jakarta, gubernur ibu kota negara.

Selain itu, kalau peristiwa penistaan agama lainnya tidak terkait dengan kepentingan politik, kasus Ahok sarat akan kepentingan politik. Saat Ahok diduga melakukan penistaan agama, ia berstatus sebagai calon petahana Pilgub DKI 2017 yang diusung oleh 4 parpol penguasa.

Dan, karena momennya bertepatan dengan masa pemilu, maka mau tidak mau kasus ini pun melibatkan masa pendukung masing-masing pasangan calon. Artinya sudah terjadi benturan di tingkat akar rumput.

Benturan di tingkat akar rumput ini bukan saja melibatkan warga Jakarta, tetapi juga warga negara Indonesia lainnya yang tinggal di segala penjuru tanah air. Akibatnya, terjadilah benturan dengan skala besar dan masiv. Benturan antar akar rumput dengan skala besar inilah yang menjadi syarat kedua terjadinya makar.

Setelah “bahan baku” kudeta sudah ada. Tinggal bagaimana mengeksekusinya. Bisa lewat jalan konstitusional yang diawali dengan keluarnya mosi tidak percaya dan diakhri dengan pemilu. Atau, pengambilalihan paksa oleh militer.”

Sementara, skenario serangan makar terhadap Jokowi juga sudah ditulisakan dalam "Potong Sumbu", Kapolri Hindarkan Jokowi dari Upaya Di-Soeharto-kan  yang diposting pada 05 Desember 2016 dituliskan,

“Jadi, sangat jelas kalau pada 2 Desember 2016 sedikitnya ada 2 potensi bentrokan massal. Inilah yang harus dicegah oleh Polri dengan “momotong sumbu” sebelum terjadi “ledakan” kecil yang berpotensi membakar ke segala arah. Polisi memotongnya dengan menangkapi aktivis terduga makar yang pada hari itu menyebar, sebagian di Monas dengan mengikuti Aksi 212 dan sebagian lagi di Gedung DPR/MPR. Sumbu yang mengaitkan Monas dengan Gedung DPR/MPR inilah yang dipotong oleh Polri.

Perlu juga dicermati, sehari sebelum Aksi 212 dilangsungkan beredar himbauan dari sejumlah tokoh kepada peserta aksi untuk membawa berbagai perlengkapan pribadi, di antaranya, odol, masker, dan kacamata renang. Apa manfaat dari odol, masker, dan kacamata renang bagi massa Aksi 212 yang ingin mengikuti kegiatan ibadah? Maka perlu dipertanyakan, apakah himbauan itu disebarluaskan untuk mengantisipasi terjadinya kerusuhan, atau persiapan untuk membenturkan peserta aksi dengan aparat keamanan?

Bayangkan kalau 0,1 % saja dari peserta Aksi 212 yang terpancing oleh provokasi? Apa jadinya? Dan perlu diperhatikan juga, Aksi 212 direncanakan berakhir pada pukul 13.00 WIB atau siang hari, bukan seperti Aksi 411 yang berakhir lepas pukul 18.00 WIB.

Karenanya cukup dengan menyulut terjadinya bentrokan di Monas, kerusuhan dengan skala besar diperkirakan akan terjadi. Bukan hanya di Jakarta, tetapi juga menjalar ke sejumlah daerah”

Dalam sejumlah artikel dituliskan tentang skenario menjatuhkan Jokowi dengan model Mesir. Model Mesir ini mirip-mirip dengan peristiwa 1998 yang berujung pada lengsernya Soeharto.

Dalam artikel “Soal Makar, Kapolri dan Menhan Sama-sama Benar” dan beberapa artikel lainnya juga dituliskan tentang ketidakmungkinan TNI melancarkan kudeta secara langsung.

Misalnya, Dalam “Soal Makar, Kapolri dan Menhan Sama-sama Benar”, dituliskan, “Sekarang, apa mungkin TNI melancarkan kudeta? Untuk melancarkan aksi kudeta, militer harus solid dalam satu komando. Bukan hanya pada saat aksi dilancarkan, tetapi juga setelahnya. Tanpa komando di satu tangan, kudeta militer akan mendapat perlawanan dari kubu militer lainnya. Ini yang terjadi di Libya dan Suriah.

TNI di bawah komando Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pastinya tidak akan gegabah melancarkan aksi kudeta sebagaimana Jenderal As Sisi di Mesir. Gatot pastinya akan menghitung dukungan yang diberikan kepadanya, termasuk dukungan dari kalangan sipil, dan memastikan dukungan itu tetap solid pascakudeta berhasil dilancarkan.

Itulah yang menjadi pertanyaan, apakah tentara solid di bawah komando Gatot, ataukah terpecah ke dalam beberapa faksi? Sepertinya, Gatot tidak akan mengambil resiko besar untuk melancarkan kudeta militer. Gatot akan menempatkan TNI di atas relnya.

Dalam peristiwa 1998, Panglima ABRI Jenderal Wiranto tidak berani memanfaatkan “Supersemar” yang dimandatkan kepadanya. Artinya, Wiranto menghindari ABRI (TNI + Polri) dari benturan. Jadi, sangat tidak mungkin kalau Gatot melancarkan kudeta militer yang berpotensi saling berbenturnya TNI.

Kenapa militer Indonesia tidak mungkin melancarkan kudeta secara langsung? Pertanyaan ini sudah ditulis dalam Mungkinkah Militer Indonesia Kudeta? yang ditayangkan pada 21 Maret 2014.

Dari berbagai pengalaman yang terjadi, termasuk Arab Spring, militer selalu memihak kepada “arah angin”. Ketika Hosni Mubarak masih kuat, militer Mesin berbaris rapat di belakangnya, tetapi begitu gelombang masa membesar, militer Mesir berbalik dan mendukung penurunan Mubarak. Hal serupa juga terjadi di Libya dan Tunisia. Demikian pula dengan yang terjadi di Indonesia pada 1998. Militer yang awalnya kompak mendukung Soeharto mulai memihak gerakan reformasi ketika gerakan tersebut membesar. Hal ini terbukti dengan dukungan TNI AL dan TNI AU kepada gerakan reformasi sehari sebelum Soeharto menyatakan lengser.

Banyak masyarakat yang kerap mencurigai militer akan melakukan kudeta. Memang sangat wajar bila kecurigaan itu ada. Apalagi bila ada momentum bagi militer untuk melakukannya. Persoalannya, apakah dengan kondisi yang masih terkotak-kotak militer Indoneaia sanggup melancarkan kudeta?

Kudeta yang dipimpin oleh satu faksi militer pastinya akan dilawan oleh faksi lainnya. Hal ini pasti menimbulkan dampak buruk berkepanjangan bagi militer sendiri. Bagaimana tidak luka 98 saja sampai saat ini masih dirasa perih oleh perwira-perwira yang bertikai.

Militer Indonesia pastinya menyadari dampak buruknya. Karenanya, militer Indonesia tidak akan lagi turun tangan secara langsung dalam konflik politik. Militer Indonesia akan memosisikan dirinya seperti pada peristiwa 2001.

Dengan demikian, terlepas dari benar tidaknya ada rencana kudeta yang akan dilancarkan militer, patut dipertanyakan, apakah investigasi Nairn bersumber dari internal intelijen Indonesia ataukah dari media online? 

Sumber ilustrasiL Shutterstock
Copyright © Tampang.com
All rights reserved