Apa yang Salah dengan Kriminalisasi Ulama yang Dipidatokan SBY

Tanggal: 23 Jan 2018 13:30 wib.
"Negara, pemerintah, penegak hukum jangan sedikit-sedikit mudah mengkriminalkan, memanggil, seolah-olah (ceramah) itu dianggap kejahatan. Saya yakin masih bisa tidak seperti itu, masih bisa menjalin hubungan baik," kata Susilo Bambang Yudhoyono saat memberikan dalam sambutannya pada peringatan 50 tahun Pondok Pesantren Daar El-Qolam di Pasir Gintung, Jayanti, Tangerang, pada 20 Januari 2018 (Sumber: Detik.com).

Pernyataan itu disampaikan SBY yang mengaku kerap mendengar dugaan kriminalisasi terhadap ulama. Dari sisi waktu, pernyataan SBY ini menjadi lebih menarik mengingat hanya berselisih beberapa hari setelah penetapan Zulkifli Muhammad Ali sebagai tersangka terkait kasus dugaan SARA.

Tetapi, seperti yang sudah diduga sebelumnya, atas pernyataannya yang dianggap sebagai pembelaan terhadap ulama tersebut, SBY menjadi sasaran bebulian sejumlah netizen.

SBY pun dituding baper, ngiri kepada keberhasilan pemerintahan Jokowi, bahkan ada juga yang menuduh SBY pun melakukan kriminalisasi terhadap ulama.

Pertanyaannya, benarkah kriminalisasi terhadap ulama itu ada?

Tidak ada asap kalau tidak ada api. SBY dan sejumlah pihak lainnya tidak mungkin mengatakannya, jika kriminalisasi terhadap ulama yang dirasakannya tersebut tidak terjadi.

Dalam dugaan kriminalisasi terhadap Zulkifli, Polri menetapkan Zulkifli sebagai tersangka dengan tuduhan ujaran kebencian bermuatan SARA .

Zulkifli mengatakan Indonesia akan diserang oleh Cina dan kaum komunis. Katanya, Indonesia akan mengalami kekacauan akibat perang yang disebabkan revolusi Cina dan kaum komunis. Zulkifli juga menyebut mereka tengah membuat kartu tanda penduduk Indonesia palsu di Paris dan Cina.

Sebagaimana yang dikutip oleh oleh Tempo.co, Zulkifli mengatakan, “Indonesia akan mengalami kekacauan akibat perang yang disebabkan revolusi Cina dan kaum komunis.”

Siapakah Cina yang dimaksud oleh Zulkifli? Etnis Tionghoa atau bangsa Tiongkok?

Jika yang dimaksud Zulkifli adalah bangsa Tiongkok, maka tuduhan ujaran kebencian bermuatan SARA tidak bisa dialamatkan kepada Zulkifli.

Sebaliknya, jika Cina yang dimaksud adalah etnis Tionghoa, barulah Zulkifli bisa dijerat dengan pasal “SARA”, sebab etnis Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia.

Pertanyaannya, bagaimana dengan tudingan adanya aktivitas arabisasi? Apakah tudingan ini juga termasuk ujaran kebencian berkonten SARA mengingat Arab merupakan salah satu etnis yang juga mendiami tanah bumi pertiwi ini. (perlu dicatat, arabisasi bukanlah Islamisasi)

Untuk jumlah e KTP, pernyataan Zulkifli yang mengatakan ada ratusan juta KTP memang sulit untuk dipercaya. Bahkan, jika mengacu pada jumlah yang ratusan juta tersebut, pernyataan Zulkifli bisa dikatakan sebagai hoax.

Kasus “impor” KTP palsu sempat mencuat jelang hari pencoblosan Pilgub DKI Jakarta 2017. Ketika itu sejumlah KTP palsu didatangkan dari Kamboja,

Menariknya, data yang terdapat dalam KTP (KTP elektronik) palsu yang didatangkan dari Kamboja tersebut sesuai dengan data yang tersimpan dalam server Dukcapil. Karenanya, KTP tersebut tidak tepat jika disebut sebagai KTP palsu, lebih tepatnya dikatakan sebagai KTP ganda. Dan, entah kenapa, sampai detik ini tidak ada investigasi untuk mengungkap penggandaan e-KTP.

Dalam persoalan yang terkait dengan Tiongkok yang belakangan ini semakin agresif, seharusnya pemerintah Jokowi dan aparat keamanannyalah yang seharusnya jauh lebih tanggap dan mewaspadai segala bentuk ancaman yang mengincar negeri ini.

Apalagi, pada 27 April 2016, media memberitakan tentang lima orang berbaju militer China bersama dua orang WNI yang tertangkap Tim Patroli TNI Angkatan Udara Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, saat tengah ngebor di area Halim Perdanakusuma tanpa izin.

Ditambah lagi dengan maraknya penangkapan terhadap sejumlah TKA ilegal asal China. Menariknya, salah seorang di antaranya kedapatan membawa benih dan tanaman cabai, bawang daun, dan sawi hijau yang bibit dan tanaman itu membawa bakteri yang belum pernah ada di Indonesia.

Pertanyaannya, apakah menceramahkan atau menyampaikan tentang kewaspadaan terhadap ancaman dari bangsa lain, dalam hal ini bangsa Tiongkok, bisa dikatagorikan tindakan yang dianggap menyebarkan ujaran kebencian atas dasar SARA?

Dugaan kriminalisasi terhadap ulama di bawah pemerintahan Jokowi sebagaimana yang dirasakan sekarang ini pastinya berbeda jauh dengan vonis 1,5 tahun penjara kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) di masa pemerintahan SBY pada tahun 2008.

Ketika itu, HRS terbukti secara sah menganjurkan untuk melakukan kekerasan terhadap orang atau barang di muka umum secara bersama-sama. Karena ini, HRS divonis dengan Pasal 170 ayat 1 jo pasal 55 KUHP.

Tetapi, saat ini HRS dituduh melakukan tindak pidana terkait dengan chat mesumnya bersama Firza Husein. Sekalipun, dari bukti-bukti awal yang sudah dibeberkan oleh Polri terdapat sejumlah kejanggalan, tetapi kasus ini tetap dilanjutkan dengan berbagai dramanya.

Demikian juga kepada Bachtiar Nasir (BN). Polri, menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah menemukan bukti transfer dana sebesar Rp 1 miliar dari BN ke Turki. Hal ini terkait dengan kasus penyelewengan dana Yayasan Keadilan untuk Semua.

Tito pun menambahkan, ada media internasional yang menyebutkan bahwa tersebut diberikan kepada satu kelompok di Suriah. Lantas, berdasarkan media internasional tersebut, kelompok tersebut memiliki hubungan dengan ISIS..

Kepolisian menyelidiki dugaan bantuan logistik dari Yayasan Bantuan Kemanusiaan Indonesia (Indonesian Humanitarian Relief/IHR Foundation) tersimpan di gudang milik pemberontak Suriah.

Di pengujung tahun 2016, tersebar video yang memperlihatkan warga sipil Aleppo menemukan gudang logistik berupa makanan dan minuman yang dikirim dari Indonesia dan ditinggalkan oleh kelompok teroris Jays Al-Islam.

Sebagai perbandingan, jika bantuan kemanusiaan ke Suriah yang jatuh ke tangan kelompok teroris, maka pemerintah Inggris pun bisa dianggap sebagai pendukung teroris.

Pada awal Desember 2017, investigasi BBC mengungkap dana bantuan dari Inggris senilai 4 juta poundsterling yang dikirimkan ke kawasan yang dikuasai pemberontak Suriah telah dibelokkan, sehingga kelompok ekstrem juga menerimanya.

Dibelokkannya dana bantuan dari Inggris seperti yang dilaporklan BBC bukanlah peristiwa pertama yang diungkap oleh media. Sebelumnya, pada 8 Mei 2016, Dailymail.co, memberitakan tentang 13 juta poundsterling bantuan dari Inggris yang jatuh ke tangan teroris ISIS di Suriah. Mengejutkannya lagi, bantuan jutaan poundsterling tersebut seharusnya dikirimkan untuk membantu pengungsi asal Palestina.

Situasi di Suriah di mana satu daerah bisa gonta-ganti penguasa dalam tempo yang relatif singkat memang menyebabkan banyaknya bantuan yang jatuh kepada pihak lain. Bukan hanya bantuan kemanusiaan, pasokan persenjataan pun banyak yang jatuh ke tangan lawan.

Jika situasi di Suriah sedikit saja dipahami, maka tuduhan terhadap BN dapat dianggap mengada-ada atau dipaksakan alias kriminalisasi.

Karenanya, melihat tindakan hukum terhadap sejumlah ulama, pernyataan SBY tentang dugaan adanya kriminalisasi terhadap ulama tidak salah,

Apalagi, pernyataan SBY pada 20 Januari 2018 lalu pun didahului oleh serentetan peristiwa buruk yang dialami oleh sejumlah ulama, seperti pengusiran, pembubaran, bahkan juga ancaman fisik.

Sayangnya, sangat sedikit media arus utama yang mengangkat isu perlakukan buruk yang dialami oleh sejumlah ulama. Media lebih menyoroti dugaan tindakan kriminal yang dituduhkan kepada ulama.

Hitunglah berapa banyak media mainstream yang memberitakan penolakan terhadap ceramah BN di Cirebon, Jawa Barat, pada pertengahan Oktober 2017 lalu.

Karenanya, tidak mengherankan jika perlakuan buruk yang dialami oleh banyak ulama itu dianggap tidak ada sama sekali.

Hal serupa juga terjadi dalam pemberitaan Prabowo Vs La Nyalla. Ketika La Nyalla menceritakan kalau dirinya diperas oleh Prabowo, media ramai-ramai memberitakannya. Sebaliknya, media menyepi setelah La Nyalla mengeluarkan bantahan atas ceritanya sendiri.

Soal dugaan kriminalisasi terhadap ulama, sebenarnya, ada satu pertanyaan yang paling menarik. Kenapa kejanggalan-kejanggalan pada setiap kasus yang menyeret ulama begitu vulgar sehingga sangat mudah terbaca? Pertanyaan ini memiliki seribu satu kemubgkinan, sehingga sulit mencari jawaban yang paling benar.

Kejanggalan paling banyak terbaca adalah cepatnya kasus ini diproses pada “menit-menit” awal, tetapi ujungnya tidak jelas atau terkesan digantung. 

Proses hukum terhadap ulama ini bertolak belakang dengan proses hukum yang dialami oleh sejumlah terlapor, seperti Victor laiskodat dan Boni Hargens.

Boni, misalnya, sejak sejumlah kader Partai Demokrat melaporkannya pada 1 Desember 2016. Kepolisian belum juga diberitakan melakukan pemanggilan, apalagi pemeriksaan.

Tidak ada asap kalau tidak ada api. Tapi,siapakah si pembuat api yang sebenarnya?

Persoalannya, si pembuat api belum tentu satu kelompok. Bisa banyak kelompok. Api pun belum tentu bisa dimanfaatkan oleh si pembuatnya. Selanjutnya, api juga belum tentu menguntungkan pembuatnya, malah justru bisa merugikannya.

Tetapi, siapa pun si pembuat “api” dugaan kriminalisasi terhadap ulama, sulit bagi Jokowi untuk mengikis tudingan sebagai pihak yang membuatnya. Jokowi pun sulit menangkis stempel anti-Islam yang dialamatkan kepada rezimnya.

Apalagi, akun-akun media sosial dan situs-situs yang dikenal sebagai pendukung Jokowi pun diketahui kerap menyerang ulama, mengolok-olok agama yang dianutnya, bahkan tidak sedikit yang memaki para ulama dengan melontarkan kata-kata yang kasar.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved