Alasan Kenapa Jokowi Harus Dukung Fahri Hamzah yang Ingin Bekukan KPK

Tanggal: 20 Sep 2017 13:03 wib.
Tetiba terjadi kegemparan yang begitu sangat mengguncang. Gegaranya, tanpa didahului angin apalagi petir, KPK menetapkan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka pada 10 Januari 2015.

Istana terkejut lantaran 3 hari hari sebelumnya BG diajukan ke DPR RI sebagai calon tunggal Kapolri. Dan ketika itu, DPR RI masih didominasi oleh Koalisi Merah Putih, koalisi partai politik yang menyatakan dirinya sebagai oposisi pasca kekalahannya dalam Pilpres 2014.

Dan, pada 15 Januari 2017, BG dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR. DPR menetapkan BG sebagai calon Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman.

Kompolnas meradang. Pasalnya, sejak beberapa bulan sebelumnya, institusi ini sudah menanyakan kepada KPK tentang nama-nama perwira Polri yang bersih dari korupsi. Tetapi, KPK tidak juga memberikan jawabannya.

Sejumlah orang yang mengaku-ngaku anti-korupsi berteriak lantang mendesak pencalonan BG ditarik lagi. BG dengan dugaan kepemilikan rekening gendut tidak layak menjadi Kapolri. Begitu seru mereka.

Presiden RI Joko Widodo mendapat buah simalakamanya. Jika desakan masyarakat yang mengaku-ngaku sebagai anti-korupsi tidak dituruti maka ia akan berhadapan dengan serbuan opini negatif yang berpotensi menghancurkan kredibilitasnya. Tetapi, jika ia menuruti desakan tersebut maka ia akan berhadapan dengan pemakzulan.

Dengan berbagai pertimbangan dan komunikasi sana-sini, akhirnya Jokowi menarik pengajuan BG sebagai calon tunggal Kapolri. Dan, Jokowi beruntung sebab DPR menyetujui sikapnya.

Saat menjamu makan Kompasianer pada 19 Mei 2015, Jokowi mengungkapkan jika keputusannya itu akhirnya diambilnya meski mantan Walikota Solo itu harus berhadapan dengan  resiko pemakzulan yang tidak diharapkannya.

Entah komunikasi apa yang dilakukan pihak Istana kepada DPR sehingga anggota DPR, termasuk dari PDIP, yang pada awalnya garang menentang penarikan usulan Kapolri mau menerima sikap Presiden.

KPK adalah institusi pemberantas kejahatan, dalam hal ini tindak pidana korupsi. Sebagai pemberantas kejahatan, layaknya jagoan dalam film-film Hollywood, sentimen masyarakat Indonesia terhadap KPK sangat begitu positif.

Sikap kelompok masyarakat pro-KPK tersebut tidak ada bedanya dengan ABG alay kepada selebritis idolanya. Dan, masyarakat pro-KPK ini tidak sungkan-sungkan menstempelnya pengritik KPK sebagai pendukung koruptor, Rakyat yang Tidak Jelas, dan sederet lebel negatif lainnya.

Menariknya, kelompok pro-KPK ini seolah memilah-milah informasi. Mereka seolah menutup pintu pada segala informasi negatif tentang KPK. Dan, karena takut distempel negatif, banyak netizen yang takut memviralkan informasi negatif tentang KPK.

Kelompok pro-KPK ini ngotot kalau KPK adalah emas yang tidak berubah warnanya. Bagi mereka, KPK adalah good cop selama lamanya. Kalau pun ada tahi kambing, tahi kambing itu harus dinikmati seperti coklat.

Perilaku kelompok yang mengaku-ngaku sebagai aktivis anti-korupsi ini sedikit banyak mirip dengan kelompok yang mengaku-ngaku sebagai aktivis HAM. Para aktivis HAM melabeli Pendongeng Hitam kepada siapa pun yang berbeda pendapat dengan mereka dalam kasus pembunuhan Munir.

Tetapi, bagi kelompok masyarakat yang distempeli pro-koruptor, KPK bukanlah emas. KPK tetaplah institusi yang diawaki oleh manusia. Bahkan, karena sistem pemilihan komisionernya, KPK bisa dikatakan juga sebagai makhluk politik.

Dalam kasus BG, KPK-lah yang bermasalah. Sebab, seperti yang diberitakan KOMPAS.COM, “Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) M Nasser menjelaskan alasan Kompolnas memasukkan nama Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan sebagai salah satu calon kepala Polri yang diajukan kepada Presiden Joko Widodo. Nasser mengatakan, Kompolnas sebenarnya pernah meminta data rekam jejak Budi Gunawan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Menurut Nasser, keterangan soal data keuangan tersebut pernah diminta saat Budi diajukan sebagai calon Kepala Polri pada 23 April 2013. Namun, kata Nasser, Kompolnas menyesali sikap KPK dan PPATK yang tidak pernah menanggapi permintaan itu.

"Kompolnas kirim surat ke Komnas HAM, KPK, dan PPATK. Tapi tidak pernah dibalas, cuma Komnas HAM yang balas ke kami. Jadi kami tidak tahu banyak soal profil mencurigakan dari para calon," ujar Nasser dalam diskusi di Kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (17/1/2015).

Perhatikan tanggalnya. KPK dan PPATK sudah dimintai data keuangan BG  sejak 23 April 2013 atau ketika BG hendak dicalonkan sebagai Kapolri pada masa pemerintahan SBY. Kenapa dalam kurun waktu hampir 2 tahun KPK belum juga menyerahkan data yang diminta Kompolnas?

Dan, tanpa prosedur penindakan yang sewajarnya, tanpa dipanggil apalagi sampai dimintai keterangan, KPK langsung menetapkan BG sebagai tersangka. Akibatnya, pada 16 Februari 2015, dalam sidang pra-peradilan yang diajukan BG, hakim menyatakan penetapan tersangka terhadap BG oleh KPK dinyatakan tidak sah.

Kasus BG mencatatkan rekornya sebagai kasus pertama yang tidak berujung pada pemidanaan. Juga menjadi kasus pertama yang tidak pernah masuk ke tahap penuntutan. Kasus ini berakhir dengan pelimpahan ke kejaksaan.

"Penyelidikan itu dimulai pada Juni 2014 kemudian naik penyidikan pada 12 Januari 2015. Jadi, tidak ada yang terburu-buru," ujar salah satu kuasa hukum KPK, Rasamala Aritonang, usai sidang praperadilan di kantor Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada 9 Februari 2015 (Sumber cnnindonesia.com).

Dari pernyataan di atas, KPK benar. Penindakan terhadap BG tidak terburu-buru. Ada waktu lebih dari 6 bulan dari tahap penyelidikan sebelum kasus ini naik ke tahap penyelidikan pada 12 Januari 2015.

Tetapi, pertanyaanya, kenapa baru pada Juni 2014 penyelidikan terhadap BG dimulai? Bukankah informasi tentang rekening gendut yang dimiliki BG sudah diberitakan Majalah Tempo pada Juni 2010? Dan, bukankah Kompolnas pun telah meminta data keuangan BG sejak April 2013. 

Pertanyaan yang paling menarik, kenapa penyelidikan terhadap BG baru dimulai Juni 2014 atau setelah penutupan pendaftaran pasangan Capres-Cawapres untuk Pilpres 2014?

Dan, sebagaimana yang diberitakan, ada dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Abraham Samad. Menurut Bambang Widjojanto. kasus ini sempat dirapatkan oleh internal KPK pada Mei 2014.

Namun, kelanjutan dari rapat internal KPK itu tidak jelas. Sama tidak jelasnya dengan pengusutan atas keterlibatan Samad dalam bocornya Sprindik Anas Urabningrum yang melibatkan yang melibatkan orang dekat Samad, Wiwin Suwandi.

Karenanya, tidak salah jika mengatakan tindakan KPK yang memotong pencalonan BG sebagai Kapolri merupakan wujud dari adanya kepentingan politik di tubuh lembaga antirasuah ini.

Adanya kasak-kusuk kepentingan politik di KPK ini semakin jelas setelah sebuah artikel yang ditayangkan di Kompasiana dengan judul “Rumah Kaca Abraham Samad” memviral di media sosial. Dalam artikel itu diceritakan tentang serangkaian pertemuan antara Samad dengan elit PDIP sebelum Pilpres 2014.

Rapat internal KPK yang menyangkut dugaan pelanggaran kode etik Samad itu digelar pada Mei 2014. BG mulai diselidiki pada Juni 2014. Sementara, tahap pendaftaran bakal calon capres-cawapres Pilpres 2014 diselenggarakan pada 18-20 Mei 2014. Sepertinya, sederet waktu itu bisa bicara banyak tentang “sesuatu” yang terjadi di KPK.

Dugaan adanya kepentingan politik juga ada pada penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka. Meski namanya sudah disebut oleh Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazarruddin, Anas belum juga disenggol oleh KPK.

Mau tidak mau kelambanan KPK dalam menuntaskan kasus korupsi proyek Hambalang ini membuat elektabilitas Demokrat semakin tergerus. Bahkan tidak sedikit yang menduga SBY selaku Presiden RI melindungi Anas yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Demokrat. 

“Sejak kemarin malam dan sepanjang hari ini, saya terima banyak berita dari tanah air sesuai rilis survei tentang keadaan parpol dilihat dari sisi dukungan publik saat ini.  Yang jadi perhatian adalah merosotnya angka untuk Partai Demokrat. Padahal, dalam Pemilu 2009 lalu,” kata SBY dalam pidato yang disampaikannya di Jeddah, Arab Saudi pada 5 Februari 2013 (Sumber: Detik.com).

Setelah pidato SBY tersebut dan didahului oleh drama bocornya SPRINDIK atas nama Anas Urbaningrum, barulah KPK menetapkan Anas sebagai tersangka pada 22 Februari 2013. Dan Ketum Demokrat itu baru ditahan pada 10 Januari 2014 atau ketika panasnya Pemilu 2014 sudah sampai ke ubun-ubun.

Bahkan penanganan kasus Anas ini sampai sekarang masih menyimpan segepok pertanyaan. Sampai-sampai, Mantan Wakil Direktur Keuangan Permai Group, Yulianis menilai penetapan Anas sebagai tersangka dilakukan dengan cara yang jorok.

Kasus BG dan kasus Anas hanyalah contoh dari sekian kasus yang menguatkan adanya kepentingan politik praktis yang terjadi di institusi KPK. Jika, memasukkan dugaan kasus-kasus korupsi yang menyeret nama Ahok, pastilah daftar contoh itu akan semakin memanjang.

Adanya perang kepentingan di internal KPK pun semakin sulit dibantah pascapengakuan Direktur Penyidikan KPK Brigadir Jenderal Polisi Aris Budiman yang membeberkan
Intrik, klik dan friksi antarkelompok di tubuh KPK.

Dan, seperti sebelumnya, Aris pun tak ayal lagi mendapat seretetan hujatan dari sekelompok orang yang mengaku-ngaku dirinya sebagai antikorupsi.

Sebenarnya intrik, klik, dan friksi di tubuh KPK bukanlah “barang baru”. Saat kasus dugaan korupsi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, rumor itu mengalir deras di sejumlah kanal media sosial, Kompasiana salah satunya.

Meski, pada Maret 2016, Ketua KPK Agus Rahardjo sudah membantahnya, namun rumor tersebut tetap mengalir tanpa penghalang. Bocornya BAP suap reklamasi yang diberitakan Tempo merupakan salah satu contohnya.

Masuknya kepentingan politik ke dalam intitusi penegak hukum merupakan racun bagi bangsa ini. Jika negara tidak segera mengambil tindakan, tidak menutup kemungkinan, negara ini akan kembali hancur sebagaimana yang terjadi pada 1998.

Usulan membekukan KPK sebagaimana yang disampaikan oleh politisi PDIP Henry Yosodiningrat dan politisi “independen” Fahri Hamzam seharusnya didukung penuh oleh Jokowi.

Fahri benar, masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan wacana pembekuan KPK

"Enggak perlu takut, sebab KPK bisa diperkuat dengan memperbaiki yang ada di dalamnya, membersihkan dari regulasi yang menyimpang dari aturan...karena itu intrepretasi saja. Kalau kemarin itu, pembekuan itu sementara karena kita sedang evaluasi sementara," kata Fahri di Jakarta, Minggu (10/9/2017).

Fahri menambahkan, semua ide dari Pansus untuk memperbaiki KPK perlu ditampung karena itu didasarkan pada temuan selama Pansus bekerja.

"Maka, jika perlu, untuk sementara KPK distop dulu. Kembalikan (wewenang memberantas korupsi) kepada kepolisian dan Kejaksaan Agung dulu," kata Henry seperti dikutip Harian Kompas (Sumber: KOMPAS.COM)

Dalam kisah Mahabarata terjadi perang besar yang dinamakan Baratayudha. Perang yang memusat pada dua kubu, Pandawa dan Kurawa, merupakan puncak dari akumulasi yang tidak mungkin lagi dipecahkan dengan jalan damai.

Demi memusnahkan keangkaramurkaan dan sengkarut sejuta masalah yang diakibatkan oleh sejuta kepentingan, dalam perang Baratayudha seluruh dinasti di wilayah Arya dibinasakan.

Baratayudha merupakan revolusi yang sesungguhnya. Dan, revolusi tidak mengenal kedamaian. Tetapi, hasil dari perang besar tersebut adalah generasi baru yang tumbuh dalam kedamaian.

Karenanya, jika pembekuan KPK dianggap sanggup membinasakan segala kekacauan di dalamnya, maka lakukanlah. Dalam kondisinya yang sudah compang-camping dicabik oleh tarik-menarik kepentingan politik, KPK harus direvolusi total. Dan, salah satu jalan adalah dengan membekukannya untuk sementara waktu.

Senin kemarin, 11 September 2017, Jokowi sudah mengeluarkan pernyataan resminya atas wacana pembubaran KPK.

"Perlu saya tegaskan bahwa saya tidak akan membiarkan KPK diperlemah. Oleh sebab itu kita harus sama-sama menjaga KPK," ujar Jokowi seperti dikutip dari siaran pers resmi Istana (Sumber: KOMPAS.COM.

Kembali ke kisah Mahabarata, Basudewa Kresna berkata, “Keputusan seseorang akan menentukan takdirnya sendiri.”

Jika, pernyataan Jokowi itu disampaikan sebagai politisi yang juga akan maju sebagai capres petahana pada Pilpres 2019, maka pernyataan itu salah besar.

Perhatikan, pada Juni 2016, KPK menyatakan tidak menemukan adanya tindak pidana dalam kasus pembelian lahan milik Rumah Sakit Sumber Waras.

Tetapi, pada Desember 2016, KPK mengatakan akan membahas fakta baru yang ditemukan BPK dalam dugaa kasus korupsi yang melibatkan Ahok tersebut. Artinya, KPK akan membuka kembali kasus yang merugikan negara ratusan milar ini.

Apakah ada kesengajaan dengan dipilihnya waktu-waktu tersebut?

Juni 2016 dan Desember 2016 adalah waktu sebelum dan sesudah batas akhir pendaftaran pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta pada Pilgub DKI Jakarta 2017 yang dilaksanakan pada akhir September 2016.

Pertanyaannya, jika sebelum akhir September 2016, KPK tidak mengatakan seperti yang disampaikannya pada Juni 2016, apakah PDIP mau mengusung Ahok sebagai cagub?

Kemudian, jika KPK kembali menyatakan akan memanggil lagi Ahok terkait kasus Sumber Waras jelang Pemilu 2019, apakah yang terjadi pada kampanye pemenangan Jokowi?

Jokowi tidak bisa mengatakan jangan mengaitkan kasus yang melibatkan Ahok dengan dirinya. Sebab, para pendukung Jokowi yang sebagian besar pendukung Ahok sudah sekian lama menggembar-gemborkan “Dwitunggal Jokowi-Ahok”.

Lewat propaganda “Dwitunggal Jokowi-Ahok”, Jokowi diidentikan dengan Ahok. Jokowi adalah Ahok dan Ahok adalah Jokowi. Jokowi-Ahok satu pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Dan, jika isu Sumber Waras kembali diramaikan oleh KPK, maka Jokowi dan PDIP akan senasib dengan Demokrat pada 2014. Elektabilitas Jokowi dan PDIP akan tergerus oleh kasus yang menyeret nama Ahok ini.

Jokowi pun semestinya tidak melupakan kasus BG yang terjadi pada 2015. Gegara tindakan KPK yang sarat akan kepentingan politik, Jokowi nyaris dilengserkan. Karenanya, dengan kepentingan yang hampir serupa, KPK bisa saja menghadang Jokowi di tahun 2019.

Apapun yang dilakukan KPK terkait kasus Sumber Waras pastinya tidak akan lepas dari Jokowi yang sudah di-dwitunggal-kan dengan Ahok. Dan, apapun tindakan Jokowi pada KPK, kasus Sumber Waras pasti akan dikait-kaitkan dengan Jokowi. Jokowi sudah disandera justru oleh para pendukungnya sendiri.

Tetapi, dalam menentukan nasib KPK, Jokowi tidak boleh terikat pada sesuatu dan lain hal. Jokowi hanya boleh terikat pada kebenaran. Dan kebenaran tidak boleh terikat. Kebenaran harus bebaa tanpa ikatan. Hitam dikatakan hitam. Putih adalah putih. Begitu petuah Yudhistira, tertua dari Pandawa.

Jika Jokowi takut pada opini yang dilontarkan oleh sekelompok orang yang mengaku-ngaku sebagai ksatria antikorupsi, itu sama saja Jokowi telah terikat pada ketakutan. Dan, itu tidak benar.

Di mata Ramaparasu, para ksatria dipandang sebagai kelompok munafik. Karenanya, dari kitab ke kitab, dari kitab Ramayana, kitab Arjuna Wiwaha, dan Mahabarata, Ramaparasu menghabisi para ksatria yang dinilainya sebagai racun peradaban.

Sebagai negarawan, Jokowi tidak perlu takut pada opini yang dibentuk oleh kelompok orang yang mengaku-ngaku ksatria antikorupsi. Apalagi, dalam berbagai kasus, terutama kasus yang menyeret nama Ahok. sudah sangat jelas, jika teriakan pemberantasan korupsi yang digaungkan oleh kelompok ini tidak lepas dari kepentingan politik.

Mendukung KPK bukan berarti menolak segala upaya untuk merevolusinya. Mendukung KPK bisa juga dilakukan dengan mendorong pembentukan Komite Etik untuk memeriksa para Komisaris KPK.

Bukankah usulan pembentukan Komite Etik juga pernah digagas oleh mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua saat muncul rumor konflik di antara para petinggi KPK menyangkut kasus Sumber Waras..

Sekarang, takdir pemberantasan korupsi ada di tangan Jokowi sebagai kepala negara. Dan, keputusan dibekukan atau tidaknya KPK akan menentukan takdir bangsa ini. Namun demikian, usulan pembentukan Komite Etik pantas untuk diwujudkan.

 

Gatot Swandito

Rakyat yang Tidak Jelas & Pendongeng Hitam
Copyright © Tampang.com
All rights reserved