Ahok Effect: Menghancurkan Etika Beragama Untuk Saling Menghormati Agama Orang Lain

Tanggal: 7 Mei 2017 21:35 wib.
Oleh :  HM.  Ismail Yusanto
 

"Bapak Ibu ngga pilih saya karena DIBOHONGI pake surat Al Maidah 51.......
Bapak Ibu ngga bisa pilih nih karena takut masuk neraka DIBODOHI gitu....."

 

Fenomena Ahok mungkin bisa diserupakan dengan Kotak Pandora dalam mitologi Yunani. Menurut mitologi itu, Pandora sejatinya adalah seorang perempuan ciptaan Hefaistos, Dewa Pandai Besi. Ketika Pandora menikah dengan Epimetheus, para dewa memberi mereka hadiah sebuah kotak yang indah. Namun, Pandora dilarang untuk membuka kotak itu. Suatu hari, karena penasaran, Pandora tetap saja membuka kotak itu. Setelah dibuka, dari dalam kotak terdengar suara gemuruh dari kerumunan sesuatu yang dengan cepat terbang keluar. Terlihat pula asap tebal berwarna hitam serta tercium aroma yang menakutkan, berpusar  memenuhi seluruh ruangan, kemudian naik ke langit. Pandora sadar bahwa dia telah melepaskan sesuatu yang sangat mengerikan. Ia segera menutup kotak itu, tetapi terlambat. Masa tua, rasa sakit, kegilaan, wabah penyakit, keserakahan, pencurian, dusta, cemburu, kelaparan dan berbagai malapetaka lainnya telah meluas; menyebar ke seluruh dunia dan menjangkiti umat manusia.

Bagai Kotak Pandora tadi, kemunculan Ahok telah mengundang aneka keburukan dan  kejahatan. Penghinaan dan pelecehan terhadap Islam, al-Quran dan  Nabi Muhammad yang sebelumnya tidak pernah terjadi sebegitu rupa, kini makin menjadi-jadi, bertebaran di dunia maya. Alih-alih kapok menghina Islam, pengadilan terhadap Ahok justru seperti memberikan energi besar kepada mereka untuk terus menghina, bahkan sampai pada tingkat yang sangat keterlaluan. Lihatlah, bagaimana mereka memperlakukan al-Quran. Kitab suci yang amat dimuliakan umat Islam itu dimasukkan ke dalam kloset. Al-Quran dirobek untuk membersihkan tinja.

Mereka juga dengan ringan melecehkan para ulama. Tengku Zulkarnaen, wakil Sekjen MUI Pusat, dihadang di Bandara Sintang, Kalteng, diusir, dimaki-maki dan diancam dengan senjata tajam. Padahal ia resmi diundang oleh Bupati untuk berceramah di sana. Apalagi Habib Rizieq, tokoh yang dianggap sebagai penggerak utama Aksi Bela Islam, habis dicaci dan dimaki, seolah ia telah melakukan kejahatan amat besar. Bahkan setelah beredarnya fitnah chating-nya dengan Firza Husein, para pendengki itu seperti mendapat amunisi untuk lebih keras menghantam Habib. KH Ma’ruf Amin, yang notabene seorang kiai sepuh yang kalem, pun tak luput dari hardikan. Lagi-lagi Ahok pelakunya. Parahnya, itu dilakukan di forum pengadilan yang semestinya semua pihak bisa menjaga etika. Penghinaan dialami juga oleh Gubernur NTB, Zainul Majdi. Saat berada di Bandara Changi, Singapura, ia dimaki dengan cara yang sangat kasar dan rasis oleh seorang warga keturunan dengan sebutan pribumi tiko (tikus kotor).

Fenomena Ahok bukan hanya soal maraknya kerendahan adab, tetapi juga hancurnya keadilan hukum dan rusaknya etika politik. Sebegitu banyak kasus korupsi yang melibatkan Ahok mulai dari kasus Busway, RS Sumber Waras, pembelian tanah Cengkareng, proyek Reklamasi dan lainnya dengan bukti yang demikian gamblang, tetap saja Ahok tak tersentuh. Bahkan untuk kasus penistaan al-Quran, jutaan orang sampai harus turun ke jalan sebelum akhirnya Ahok menjadi tersangka. Padahal jelas sekali Ahok telah melakukan penistaan terhadap al-Quran. Dari pengalaman sebelumnya, semua tersangka penista agama pasti masuk penjara. Bahkan Permadi, belum lagi menjadi tersangka penistaan terhadap Nabi Muhammad saw., sudah masuk penjara. Tampak sekali aparat dan birokrat sangat melindungi Ahok.

Akrobat hukum tak berhenti di situ. Meski sudah menjadi tersangka, bahkan terdakwa, dengan berbagai dalih, Ahok tetap tidak ditahan dan tidak dicopot dari jabatan gubernur. Malah dengan pongahnya, ia mempertontonkan kedekatannya dengan Presiden ketika ia berada semobil dengan Jokowi. Pada saat yang sama sejumlah orang, dengan tudingan makar, dengan cepat ditangkap. Lalu pada saat jadwal sidang mestinya mendengarkan tuntutan, lagi dengan berbagai dalih yang tak lucu, Jaksa meminta penundaan hingga dua minggu. Tampak sekali, pembacaan tuntutan itu tak dikehendaki berdampak buruk bagi elektabilitas Ahok jelang pemungutan suara 19 April. Ketika tiba tuntutan dibacakan, publik kembali dikejutkan oleh sandiwara konyol. Ahok hanya dituntut 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun. Bila tuntutan ini dipenuhi hakim, praktis dia akan bebas.

Jelang pemungutan suara 19 April, kegilaan makin menjadi-jadi. Mereka dengan terang-terangan menebarkan sembako di sentero Jakarta, suatu tindakan yang jelas-jelas dilarang oleh undang-undang. Namun, mereka tak peduli. Mereka yakin betul aparat di belakang mereka.

++++

Syukurlah, Ahok akhirnya kalah. Namun, Kotak Pandora telah terlanjur terbuka. Sama seperti Pandora dalam mitologi Yunani tadi. Meski ia segera menyadari kekeliruannya, lalu segera menutup kotak itu, semua hal buruk terlanjur telah lepas. Rendahnya keadaban, hancurnya keadilan hukum dan etika politik telah terjadi di mana-mana. Pertentangan bahkan perpecahan antaranggota ormas, partai, antar anggota kelompok alumni, antaranggota keluarga, termasuk antar suami-istri yang berbeda dukungan sudah terlanjur terjadi sampai pada tingkat yang sangat parah karena diwarnai oleh dimensi keyakinan.

Yang lebih memprihatinkan lagi, alih-alih para pendukung pemimpin kafir itu menyadari kekeliruannya, mereka justru membangun argumen yang semakin menunjukkan rusaknya cara berpikir dan rapuhnya keyakinan mereka sebagai Muslim. Dengan segala cara mereka berusaha mencari dalil dan dalih untuk membenarkan pilihan mereka. Hadis yang aslinya tidak ada hubungannya dengan calon gubernur kafir itu,  ‘Unshur akhâka zhâlim[an] aw mazhlûm[an]’, dikatakan sebagai bukti bagaimana Nabi saw. sejak dari dulu sudah menyebut Ahok dan meminta kita untuk menolong dia.

Jelas sekali semua itu telah menimbulkan luka psikologis, sosiologis, yuridis dan politis yang cukup parah. Secara psikologis, konflik yang dipicu oleh pelecehan etnis terlanjur kembali meletup. Secara yuridis, ketidakadilan hukum telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Secara politis negeri ini seolah telah terbelah menjadi pro dan anti penista al-Quran. Sekian parpol, ormas, grup-grup alumni, keluarga bahkan suami-istri pecah akibat Ahok seorang. Tampaknya semua itu tidak akan cepat berakhir. Rumor terakhir menyebut, Ahok justru akan diangkat sebagai Mendagri, menggantikan Tjahjo Kumolo sebelum Oktober 2017. Dengan demikian saat Anies – Sandi resmi menjadi gubernur, Ahoklah yang justru akan melantik keduanya.

++++

Bila dalam mitologi Yunani, Pandora hanya bisa meratap, menyesali perbuatannya tanpa bisa berbuat apa-apa, melihat semua kejahatan dan keburukan dengan cepat menyebar ke seantero dunia, kita tentu tidak begitu. Ada berkah terselubung dari ‘Kotak Pandora’ Ahok. Melalui Ahok, tabir yang selama ini menutupi kepalsuan tersingkap. Kita bisa menyaksikan dengan sangat nyata mana partai, ormas, tokoh, kiai, ustadz, ulama yang kokoh dengan prinsip keislamannya; mana juga yang dengan ringan melacurkan prinsip Islam demi selembar rupiah dan janji jabatan serta tega-teganya menyerang kita demi membela penista al-Quran. Ahok juga telah menunjukkan kepada kita bagaimana corporatocracy bekerja. Ketika pemilik modal, sang pemegang kedaulatan, mengendalikan aparat dan birokrat, semua tunduk pada keinginan para pemilik modal itu. Rakyat hanya menjadi stempel kekuasaan mereka.

Kasus ini telah membantu kita menyeleksi, mana emas mana loyang. sekaligus telah menunjukkan yang batil memang batil. Karena itu pilihlah emas dan tinggalkanlah yang batil itu.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved