Ada Apa Di Balik Sejumlah Kejanggalan Vulgar di Seputar Pilgub DKI 2017

Tanggal: 18 Apr 2017 12:27 wib.
Jelang perhelatan putaran kedua Pilgub DKI 2017, sejumlah informasi “kolong meja” beredar luas. Kemarin, 17 April 2017, diinformasikan adanya pertemuan antara taipan pendukung paslon Ahok-Djarot dengan sejumlah pimpinan redaksi di daerah Soedirman SCBD.

Konon, menurut informasi “kolong meja tersebut, para pemimpin redaksi diarahkan untuk memenangkan Ahok-Djarot dengan selisih suara 3 %. Caranya tentu saja dengan memberitakan hasil quick count dengan Ahok-Djarot sebagai pemenang Pilgub DKI 2017.

(Mungkin yang benar bukan quick count, tapi exit poll. Sebab quick count berdasarkan hasil perhitungan suara yang dihitung setelah tahap pemungutan suara ditutup. Sedang exit poll adalah hasil survei yang dilakukan kepada pemilih yang baru keluar dari TPS.)

Informasi “kolong meja” tentang skenario pemenangan Ahok-Djarot yang dilakukan dengan menggalang kekuatan media bisa benar, bisa juga tidak alias hoax. Namun demikian, ada sejumlah fakta menarik yang patut dicermati tentang adanya upaya pemenangan pasangan calon bernomor urut 2 ini. Fakta menarik itu adalah kejanggalan pada bertambah dan berkurangnya jumlah DPT di seluruh Jakarta.

Jumlah DPT Jakarta Selatan, misalnya, berkurang dari 1.627.583 menjadi 1.606.921 atau berkurang sebanyak 20.662 pemilih. Sebagaimana diketahui,  pemenang di wilayah Jakarta Selatan adalah paslon nomor 3 Anies-Sandi, dengan selisih 6% suara dari suara Paslon nomor 2.

Begitu pula dengan DPT wilayah Jaktim yang diketahui sebagai kantong suara paslon nomor urut 3. Di wilayah ini jumlah DPT berkurang sebanyak 18.064. Meski DPT mengalami pengurangan, anehnya, jumlah TPS di Jakarta Timur mengalami penambahan sebanyak 4 buah. Keempat TPS tersebut berada di rusun. Konon penambahan TPS di wilayah tersebut disebabkan banyaknya pengguna DPTb.

Sebaliknya, tercatat adanya penambahan di kantong-kantong suara Ahok-Djarot. Di Jakarta Utara, misalnya, jumlah DPT bertambah menjadi 5.062 pemilih. Penambahan jumlah DPT pun terjadi di kantong suara Ahok-Djarot lainnya. Di Jakarta Barat, DPT bertambah menjadi 29.447 pemilih. Sedangkan, di Jakarta Pusat tercatat terjadi penambahan DPT sebanyak 10.363 pemilih. Sekalipun tidak signifikan, namun DPT di Kepulauan Seribu pun mengalami penambahan sebanyak 281 pemilih.

Pertanyaannya, apakah penambahan jumlah DPT di kantong-kantong suara Ahok-Djarot dan pengurangan jumlah DPT di wilayah yang dimenangkan oleh Anies-Sandi merupakan bagian dari skenario pemenangan paslon Ahok-Djarot?

Dengan logika apapun, penambahan dan pengurangan DPT di wilayah-wilayah tertentu sangat tidak masuk akal. Pertanyaannya, apakah sejak putaran pertama Pilgub DKI 2017 tidak ada pemilih pemula di Jaktim dan Jaksel yang terdata. Ataukah semenjak 15 Februari 2017, di kedua wilayah tersebut banyak terjadi kematian yang mengakibatkan berkurangnya jumlah DPT. Sebaliknya, di Jakbar, Jakpus, Jakut, serta Kepulauan Seribu terjadi lonjakan jumlah pemilih pemula dan penambahan DPT dari yang sebelumnya DPTb.

Tetapi, ada yang lebih aneh ketimbang kejanggalan penambahan-pengurangan DPT pada Pilgub DKI 2017. Keanehan tersebut adalah kejanggalan yang dpertontonkan dengan sedemikian vulgarnya. Ada apa dengan vulgarnya kejanggalan tersebut? Apakah ada skenario di balik skenario yang belum tercium publik?

Salah satu kejanggalan vulgar yang dipertontonkan kepada publik adalah surat Kapolda Metro Jaya kepada pengadilan untuk menunda sidang lanjutan Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama. Bukankah Kapolda tidak perlu membuat surat yang kemudian tersebar luas lewat media. Kalau pun pertimbangan pengunduran sidang tersebut adalah situasi keamanan, bukankah Kapolda bisa membicarakannya dalam ruang tertutup tanpa diketahui pihak luar.

Apalagi kemudian jaksa penuntut pun mengundurkan jadwal persidangan menjadi sehari setelah hari pencoblosan. Artinya, pihak kepolisian sebenarnya bisa mengonsultasikan pengunduran sidang tersebut dengan pihak kejaksaan, di mana keduanya merupakan bagian dari eksekutif di bawah Presiden RI.

Tetapi, kejanggalan tidak berhenti sampai di situ. Pengunduran jadwal sidang menjadi 20 April 2017 atau sehari setelah hari pencoblosan pun dapat disebut sebagai sebuah keanehan tersendiri. Bukankah sejak beberapa minggu sebelum penundaan sidang sudah beredar informasi tentang adanya mobilisasi massa dari daerah menuju Jakarta dalam rangka Pilgub DKI 2017. Artinya, pada saat sidang dilanjutkan, massa masih menumpuk di Jakarta. Dan, hal ini pastinya berpotensi menimbulkan bentrok fisik antara dua kubu yang berseberangan.

Pertanyaan yang paling mendasar, ada apa di balik kejanggangal-kejanggalan tersebut? Dan, pertanyaan ini pastinya baru akan terjawab setelah Jumat 21 April 2017 nanti.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved