Film G30S/PKI Diizinkan Tayang Lagi, Begini Komentar Sejarawan

Tanggal: 18 Sep 2017 20:21 wib.
 

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa masyarakat dan generasi muda saat ini perlu tahu sejarah G30S/ PKI.

"Namanya sejarah, agar masyarakat dan generasi muda mengetahui bahwa pernah ada gerakan kudeta," kata Tjahjo.

Oleh karena itu, Tjahjo tak masalah jika film "Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI" diputar di layar-layar kaca televisi nasional.

"Putar saja di stasiun televisi. Menurut saya, tidak masalah," kata politisi senior PDI Perjuangan tersebut.

Menanggapi hal tersebut, sejarawan Bonnie Triyana menilai Film G 30 S/ PKI bukanlah merupakan film sejarah. Sebab menurutnya, sejumlah adegan dalam film arahan Sutradara Arifin C Noer itu menurutnya tak sesuai dengan fakta-fakta.

"Di beberapa adegan tidak faktual. Ada beberapa ketidaksesuaian peristiwa sejarah," kata Bonnie yang tengah berada di Belanda seperti yang dilansir dari detik.com.

Ia menanggapi rencana TNI Angkatan Darat menggelar acara nonton bareng film tersebut untuk lingkungan internal mereka. Film tersebut pertama kali beredar pada 1984 dan pernah menjadi tontotan wajib bagi seluruh pelajar di Indonesia. Film itu lalu diputar setiap 30 September di televisi kemudian dihentikan begitu memasuki era reformasi.

Bonnie memberikan adegan yang dianggap tak faktual antara lain adegan tujuh jenderal yang disika di daerah Lubang Buaya. Film itu menggambarkan penyiksaan oleh Gerwani. Namun hasil visum yang dilakukan oleh tim dokter menunjukkan bahwa tidak ada penyiksaan berupa pencungkilan mata, penyiletan, hingga pemotongan alat kelamin.

Tim visum terdiri dari dr. Lim Joe Thay, dr. Brigjen Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat), dr. Kolonel Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat), dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman dan profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), dan dr. Liau Yan Siang (lektor dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI)

Indonesianis dari Cornell University, Benedict Anderson, mengungkapkan hasil visum ini dalam artikelnya, How did the General Dies? di jurnal Indonesia edisi April 1987. Merujuk hasil visum, enam jenderal tewas karena luka tembak, dan Jenderal MT Haryono tewas karena luka tusukan senjata tajam.

"Itu film propaganda Orde Baru, bukan film sejarah," kata Bonnie.

Bonnie menyarankan daripada memutar film tersebut lebih baik dibuat film baru yang benar-benar otentik nilai kesejarahannya. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan diskusi dengan para ahli agar tidak terjebak menjadi indoktrinasi atau alat propaganda.

"Sebaiknya film sejarah didiskusikan bukan diberikan sebagai doktrin. Film, siapapun boleh membuatnya, yang penting diskusi, bukan main paksa nonton seperti propaganda dan doktrin," tandas Bonnie. 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved