Meluruskan Mitos Menyesatkan Seputar Bedah Caesar

Tanggal: 8 Des 2017 08:37 wib.
Di negara berkembang termasuk Indonesia, orang-orang berduit dan para selebriti dengan mudah termakan oleh mitos-mitos yang tak pernah terbukti secara ilmiah. Ada kecenderungan ibu-ibu muda dari golongan menengah ke atas ini menjadi korban fenomena happy to be cheated (merasa senang telah ditipu). Benarkah demikian?

Tingginya angka bedah caesar di negeri kita tidak lepas dari berkembangnya mitos yang sebenarnya tidak pernah terbukti atau dibuktikan kebenarannya secara ilmiah alias menyesatkan belaka. Uniknya justru di kota-kota besar bedah caesar tersebut marak, bahkan cenderung menjadi mode, khususnya di rumah sakit swasta.

Satu hal yang jelas, bahwa semakin banyak pasien yang menjalani bedah caesar maka keuntungan rumah sakit semakin meningkat dan tentu saja honorarium dokter juga semakin melambung, namun dampak positifnya terhadap peningkatan kesehatan masyarakat secara keseluruhan sama sekali tidak ada.

Mitos paling terkenal adalah kerusakan jalan lahir (vagina) sebagai akibat persalinan. Dahulu mitos ini mendominasi bedah caesar tanpa indikasi medis, yakni atas permintaan pasien yang ingin tetap mulus vaginanya. Penelitian ilmiah membuktikan, mitos itu sama sekali tidak benar karena penyembuhan luka di daerah vagina dan perineum (antara vagina dan dubur) nyaris sempurna.

Belakangan mitos malah "bergeser" lagi, di mana bedah caesar dikatakan sebagai ibadah, yakni untuk menyenangkan suami karena vagina dijaga dari kerusakan akibat persalinan.

Mitos lain adalah bayi yang dilahirkan melalui bedah caesar (konon) menjadi lebih pandai karena kepalanya tidak terjepit di jalan lahir. Sepintas ini logis dan masuk akal. Namun, suatu penelitian cohort selama 18 tahun yang mencakup ribuan pasien di Kanada ternyata memberikan kesimpulan sebaliknya! Tidak ada perbedaan bermakna kecerdasan bayi yang dilahirkan per vaginam maupun bedah caesar, tetapi frekuensi kesakitan (terutama demam karena infeksi) dari bayi-bayi yang dilahirkan dengan bedah caesar jelas lebih tinggi secara bermakna.

Disimpulkan, proses kelahiran (biasa/per vaginam) sangat diperlukan janin sebagai latihan menghadapi dunia di luar rahim, atau disebut juga proses transisi antara dunia dalam rahim dan di luar rahim. Singkatnya, mitos bayi lahir pintar kalau dilahirkan dengan bedah caesar adalah isapan jempol belaka! Apakah Einstein, Isaac Newton, Stephen Hawking, Bill Gates, BJ Habibie dan lain-lain para genius itu lahirnya dengan bedah caesar?

Walaupun terkesan agak terlambat, tetapi langkah melakukan audit terhadap bedah caesar sudah sepatutnya didukung semua pihak, termasuk masyarakat sebagai penerima jasa pelayanan medis. Bedah caesar karena "permintaan pasien" sering dikatakan sebagai indikasi sosial, yakni tidak ingin merasa sakit waktu persalinan, ingin memilih hari lahir bagi anaknya, ingin agar anaknya "lebih pintar" dan sebagainya.

Singkatnya, "ketidaktahuan dan kesoktahuan" pasien sangat besar kontribusinya dalam peningkatan angka bedah caesar. Ironisnya, dokter justru "memanfaatkan" attitude pasien seperti itu dibanding memberikan pengertian serta pemahaman yang benar kepada pasien. Peran dokter mendidik masyarakat (sesuai amanat Kodeki/Kode Etik Kedokteran Indonesia) dalam konteks ini benar-benar sangat diharapkan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved