Imunisasi Campak dan Rubella, Mengapa Harus Ada di Negeri ini?

Tanggal: 19 Agu 2017 15:24 wib.
Tulisan ini dibuat untuk menanggapi tulisan yang dimuat di kolom Wacana dalam rubrik Jurnalisme Warga tanggal 17 Agustus 2017. Kampanye imunisasi MR yang berlangsung di seantero Pulau Jawa sejak 1 Agustus 2017 menuai banyak reaksi masyarakat. Sebagian mendukung penuh, karena paham manfaatnya untuk menekan angka kematian anak akibat penyakit campak, dan mengurangi jumlah bayi terlahir cacat (sindrom rubella kongenital) karena ibunya terinfeksi virus rubella saat hamil. Sebagian lainnya masih bertanya-tanya, apa tujuan kegiatan yang kesannya “mendadak” dan “dipaksakan” oleh pemerintah ini? Mengapa harus berupa program imunisasi massal yang melibatkan rentang kelompok umur cukup panjang, yaitu bayi berusia 9 bulan sampai siswa SMP berusia kurang dari 15 tahun? Ada apa di balik semua ini?

Mengenal penyakit campak dan rubella

Sebelumnya, kita harus paham dulu, apa campak dan rubella? Keduanya adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus. Penyebab campak adalah Morbilivirus, dan rubella disebabkan oleh golongan togavirus. Gejala-gejala penyakit campak dan rubella mirip sebagiannya, yaitu adanya demam disertai ruam. Bedanya adalah anak yang mengalami campak seringkali tampak terlihat lebih sakit, yaitu disertai mata merah, batuk, sesak, dan diare.

Sebagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus, penderita campak akan sembuh dengan sendirinya, seiring waktu dan kekebalan tubuh yang melawan virus. Tetapi campak mematikan karena komplikasinya, yaitu radang paru (pneumonia), diare dengan dehidrasi (kekurangan cairan) berat, dan ensefalitis (peradangan di jaringan otak dengan konsekuensi kecacatan seumur hidup, jika penderitanya tidak meninggal). Campak juga dapat menyebabkan kebutaan dan infeksi telinga tengah yang berisiko gangguan pendengaran.



Data WHO menyebutkan di tahun 2015, terdapat 134.200 kematian di seluruh dunia (setara dengan 367 kematian/hari, atau 15 kematian/jam). Angka ini memang jauh menurun seiring meluasnya cakupan imunisasi campak. Pada tahun 1980, campak diperkirakan menyebabkan 2,6 juta kematian per tahun. Di Indonesia, imunisasi campak masuk ke dalam program yang diberikan rutin kepada seluruh bayi berusia 9 bulan sejak tahun 1982. Pada tahun 1980, tercatat 28.935 kasus campak di Indonesia, dan sempat meningkat menjadi 92.105 kasus di tahun 1990.

Profil kesehatan Indonesia tahun 2016 melaporkan 6.890 kasus campak sepanjang tahun 2016, dengan jumlah kematian 5 orang. Pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI mencatat 8.185 kasus campak di Indonesia, dengan 831 kasus kejadian luar biasa (KLB) atau wabah. Angka kematian yang dilaporkan hanya 1. Apakah data ini menunjukkan kondisi penyakit campak di negara ini sudah sangat rendah dan tidak perlu dikhawatirkan? Apabila Anda berpikiran demikian, maka Anda salah! Pahami dulu beberapa hal berikut.

Pertama, tujuan akhir yang ingin dicapai adalah tidak adanya kasus campak sama sekali di Indonesia (eliminasi), bahkan di seluruh dunia! Rencana strategis (Renstra) 2012 – 2020 yang dibuat oleh WHO mencanangkan eliminasi campak dan rubella di setidaknya 5 area WHO, dan Menteri Kesehatan Nila F Moeloek sudah menargetkan Indonesia bebas campak di tahun 2020, sejak tahun 2015 lalu. Apa artinya? Kampanye imunisasi MR ini bukanlah program dadakan, dan sudah direncanakan mengikuti komitmen bersama 194 negara WHO sesuai Renstra yang ada, yaitu menekan angka kematian akibat campak sampai 95 persen, mengurangi insidens campak kurang dari 5 kasus per satu juta penduduk, dan mencapai cakupan imunisasi campak (atau MR) sampai 90 persen di tingkat nasional. Target ini seharusnya sudah dicapai di tahun 2015, dan angka cakupan imunisasi campak/MR meningkat menjadi 95 persen di tahun 2020. Maka diharapkan Indonesia bebas campak di tahun 2020, selain mampu mengendalikan rubella dan sindrom rubella kongenital. Inilah tujuan dari kampanye imunisasi MR yang mengundang pertanyaan banyak orang.

Perencanaan memasukkan vaksin rubella ke dalam program imunisasi nasional sendiri bukanlah hal baru. WHO position paper on rubella vaccines di tahun 2011 merekomendasikan bahwa semua negara yang belum mengintroduksikan (memasukkan) vaksin rubella dan telah menggunakan 2 dosis vaksin campak dalam program imunisasi rutin seharusnya memasukkan vaksin rubella dalam program imunisasi rutin. Pada tahun 2012, kemitraan global dalam pertemuan kesehatan dunia (World Health Assembly) membentuk The Measles and Rubella Initiative, yang menjadi cikal bakal pemberian vaksin kombinasi MR di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia saat ini. Negara-negara Asia Tenggara lain bahkan sudah mendahului, seperti Kamboja di tahun 2013, Vietnam di tahun 2014, dan Myanmar di tahun 2015. Fakta ini makin memperjelas bahwa program kampanye imunisasi MR bukanlah program dadakan, suatu kewajaran mengikuti apa yang sudah dilakukan di negara-negara lainnya.

Kedua, sebagian orang berkata: “campak bukanlah penyakit berat, bukankah semua anak akan mengalami campak?” Atau “anak saya tetap kena campak, meskipun sudah diimunisasi. Apa manfaatnya vaksin campak?” Di Indonesia, ketika seorang anak mengalami demam yang disertai gejala ruam merah di kulit, maka orangtua menyebutnya sebagai campak, atau “tampak/tampek”. Padahal belum tentu penyakitnya adalah campak, tetapi bisa jadi rubella, atau yang tersering adalah roseola. Penyakit yang disebut terakhir ini dialami oleh sekitar 90% seluruh anak sebelum usianya mencapai 5 tahun (tersering pada usia 6 – 24 bulan).

Roseola yang kadang disebut “tampak” ini adalah penyakit ringan, dan tidak menimbulkan komplikasi, apalagi kematian. Sangat berbeda dengan campak. Orangtua diharapkan mengetahui perbedaannya agar tidak salah kaprah, dan paham bahayanya penyakit campak dan pentingnya imunisasi campak/MR. Maka bisa jadi, ketika orangtua berpikir anaknya tetap sakit campak meskipun sudah diimunisasi, sesungguhnya anak tersebut mengalami roseola atau rubella. Bukan campak.

Di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, dan Australia, penyakit campak sangat ditakuti, dan orang yang mengalaminya harus diisolasi di dalam rumah sampai berhari-hari, dan tidak boleh melakukan aktivitas di luar, atau pergi bekerja/bersekolah, sampai dinyatakan dokter boleh kembali beraktivitas di luar. Masyarakat di negara-negara ini sangat paham bahayanya campak. Lihat saja cakupan imunisasinya yang tinggi, seperti di Amerika Serikat (AS) sebesar 91,9 persen (dalam bentuk imunisasi MMR) dan dinyatakan telah mengeliminasi campak sejak tahun 1997, dan negara-negara lain seperti Australia (eliminasi sejak tahun 2005), Kanada (sejak 1998), Inggris dan Wales (tahun 1995 – 2001), dan Korea (tahun 2001 – 2006). Kunjungan antara negara memudahkan virus campak berpindah dari satu orang ke orang lainnya, sehingga negara-negara yang dinyatakan bebas campak ini bisa sewaktu-waktu “mengimpor” virus campak dari warga negara lain. Pada tahun 2014 misalnya, terdapat 667 kasus dari 27 negara bagian di AS, dengan 23 wabah, dan sebanyak 42 persen kasusnya dilaporkan “diimpor” dari negara-negara seperti Filipina, India, Indonesia, dan Cina.

Ketiga, bagaimana dengan data kasus campak di Indonesia yang turun terus, dari 10.712 kasus di tahun 2013, lalu sempat naik menjadi 12.493 kasus di tahun 2014, dan turun ke angka 8.185 kasus pada tahun 2015? Kematian yang dilaporkan pun hanya satu. Tidakkah merasa puas dengan “prestasi” yang ada? Tentu saja tidak! Penjelasan sebelumnya mengenai target Indonesia bebas campak tahun 2020 sudah sangat jelas. Bandingkan saja angka 8.185 di Indonesia tahun 2015 dengan angka 667 kasus di AS tahun 2014. Negara AS sudah merasa sangat banyak dengan jumlah tersebut! Lalu mengenai angka kematian yang hanya satu, saya merasa yakin jumlah ini masih underreported.

Tidak semua kasus kematian dilaporkan, dengan luasnya dan beragamnya geografis Indonesia, termasuk daerah-daerah pelosok, dan sistem pelaporan yang belum memadai di semua tempat. Bisa saja kenyataan yang terjadi merupakan fenomena gunung es, yaitu masih banyak kasus yang tidak atau belum terlaporkan. Di dalam petunjuk teknis kampanye imunisasi MR sendiri, Kementerian Kesehatan mengakui jumlah kasus diperkirakan masih rendah dibandingkan angka sebenarnya di lapangan, mengingat masih banyaknya kasus tidak terlaporkan, terutama dari pelayanan swasta, serta kelengkapan laporan surveilans yang masih rendah.

Keempat, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan cakupan imunisasi campak masih rendah, yaitu 82,1 persen, meskipun laporan dari data rutin imunisasi campak menunjukkan angka 97,8 persen di tahun yang sama, dan turun menjadi 92,3 persen di tahun 2015. Maka untuk mencapai target cakupan lebih dari 95 persen di tahun 2020, tantangannya menjadi sangat besar, dan kampanye imunisasi MR yang diawali tahun ini menjadi cermin bagaimana Pulau Jawa mampu menghadapinya.

Pernahkah Anda melihat anak yang dirawat di RS karena sakit campak, dengan komplikasi pneumonia, diare atau ensefalitis? Saya seorang dokter anak, dan saya melihat sendiri penderitaan anak-anak yang dirawat karena napasnya sesak, lemas akibat kekurangan cairan saat diarenya, bahkan sampai kejang berulang karena ensefalitis, dan berakhir pada kematian, atau cacat seumur hidup, setelah sebelumnya mengalami tumbuh-kembang normal! Penderitaan akibat penyakit campak dan rubella tidak semata pada fisik si anak saja, tetapi anggota keluarga lain yang terpaksa harus menemaninya menjalani sakitnya.

Ketika seorang anak dirawat, otomatis orangtuanya harus menemaninya. Sang ayah terpaksa tidak masuk kerja, atau mencari nafkah lewat berdagang misalnya, selama hari-hari anak dirawat. Belum lagi pengeluaran biaya untuk makan sehari-hari, ongkos transportasi, dan risiko mengalami kelelahan fisik dan mental yang berujung pada melemahnya daya tahan tubuh. Di AS misalnya, pada 12 (saja) kasus campak yang dilaporkan tahun 2008 di negara bagian Kalifornia, biaya kesehatan yang harus ditanggung masyarakat dihitung sebanyak 125.000 USD.

Di negara bagian Arizona pada tahun yang sama, 14 kasus yang dilaporkan memakan biaya 800.000 USD! Di Indonesia, Badan Litbang Kesehatan Kemenkes pada tahun 2015 memperkirakan kerugian makro-ekonomi sebesar 1,09 triliun akibat sindrom rubella kongenital! Pengkajian biaya disability-adjusted life year (DALY), yaitu estimasi kerugian berupa kehilangan hari-hari potensial untuk bekerja dalam hitungan tahun akibat penyakit campak dan rubella, antara yang mendapatkan imunisasi MR dengan yang tidak mendapatkan imunisasi adalah sebesar Rp 26.598.238 per orang! Bagaimana dengan kerugian akibat sindrom rubella kongenital?

Dalam sepekan terakhir, saya bertemu dengan dua orang anak yang mengalami ketulian akibat sindrom rubella kongenital. Anak pertama berusia 2 tahun dan orangtuanya tergolong ekonomi tidak mampu. Alat bantu dengar (ABD) yang didapatkannya secara Cuma-Cuma dari sebuah yayasan ternyata tidak memberikan manfaat sama sekali bagi putrinya. Ternyata spesifikasi minimal ABD yang dibutuhkannya seharga sekitar 10 juta rupiah. Anak kedua berusia 10 tahun, dan berasal dari orangtua berkemampuan ekonomi tinggi. Saat usianya 1 tahun, ia menjalani operasi implan koklea di Singapura, dengan biaya sekitar 500 juta rupiah per telinga! Itu sekitar 9 tahun lalu.

Saat ini ia masih menggunakan ABD dengan kapasitas 10 kali lebih baik dari ABD yang diperkirakan mampu membantu secara minimal pendengaran anak pertama. Harganya pun setara dengan spesifikasi alatnya, yaitu sekitar 10 kali lipat lebih mahal. Silakan hitung sendiri berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk membantu indera pendengaran, penglihatan (anak dengan sindrom rubella kongenital mengalami katarak sejak lahir yang harus dioperasi), dan jantungnya (celah/katup jantung yang masih terbuka). Biayanya mencapai hitungan huruf M.

Berapa biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam kampanye imunisasi MR kali ini? Media Jawapos mengutip pernyataan Direktur Surveilans, Imunisasi, Karantina, dan Kesehatan Matra Kemenkes menyebutkan 740 miliar, dengan rincian sumber APBN sebesar 399 miliar, dan sisanya dana hibah dari Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI). Media Harian Nasional menuliskan angka 1,84 triliun, tetapi ini mencakup vaksin-vaksin selain MR, seperti pneumokokus, HPV, dan JE, yang harganya tentu berbeda dengan vaksin MR.



Ada masyarakat yang mempertanyakan dana sebesar ini, bahkan menghubungkannya dengan “tidak ada makan siang gratis” lewat dana hibah, dan “praktik bisnis di dunia farmasi dan kedokteran”. Dua hal yang disebutkan terakhir ini mengundang tawa saya. Apakah dana tersebut besar? Ya, tapi masih sangat wajar, dengan banyaknya cakupan yang ditarget, dan manfaatnya secara ekonomis. Lihat kembali hitung-hitungan kerugian secara ekonomi (belum secara fisik dan mental) akibat penyakit campak dan rubella, bagi seluruh individu yang mengalaminya.

Lalu ide yang menghubungkan antara pemberian vaksin gratis 100 persen dari pemerintah dengan “praktik bisnis” sangatlah konyol. Bedakan antara program imunisasi gratis dari pemerintah yang sudah berlangsung sejak tahun 1977, dengan imunisasi-imunisasi menggunakan vaksin berbayar di layanan kesehatan swasta. Pada program imunisasi MR, semua adalah tanggungan dan kewajiban pemerintah, dan semua tenaga kesehatan lapangan yang terlibat dalam program ini adalah pegawai Puskesmas yang mendapat penghasilan secara rutin layaknya gaji bulanan. Vaksin program pemerintah tidak ada unsur bisnisnya!

Isu halal dalam vaksin MR

Isu halal-haram akan selalu muncul di keseharian selama vaksin-vaksin yang beredar tidak mengantongi sertifikasi halal MUI. Pembahasan masalah ini cukup panjang, tapi jika disederhanakan ada dua hal yang saya simpulkan. Pertama, sertifikat halal untuk vaksin sulit untuk dikeluarkan di Indonesia karena perbedaan pandangan dalam ilmu fikih, untuk kajian istihalah (perubahan suatu zat menjadi zat lainnya), istihlak (suatu zat yang terlarut dalam pelarut dengan jumlah besar sehingga menyucikan zat tersebut), dan darurat (apabila tidak ada pilihan lain, maka sesuatu yang haram menjadi boleh digunakan).

Vaksin adalah produk biologis yang melalui proses pembuatan sangat kompleks, dan melibatkan berbagai zat kimiawi untuk menjadikan produk akhir yang efektif dan aman. Apabila dalam prosesnya sempat bersinggungan dengan bahan-bahan kimiawi yang dikategorikan haram atau najis, maka LP POM MUI sulit untuk mengeluarkan sertifikat halalnya. Padahal di negara-negara lain, termasuk negara-negara Timur Tengah, alasan ini tidak menjadi masalah, karena kaidah fikih yang dipegang ulama-ulama setempat berbeda dengan ulama-ulama di MUI. Mereka masih mengakui kaidah istihalah dan istihlak untuk vaksin.

Kedua, ketiadaan sertifikat halal, tidak lantas menjadikan vaksin haram! Kaidah fikih ini yang tidak dipahami sebagian masyarakat Indonesia, sehingga dikhawatirkan menghukumi sesuatu haram, semata-mata karena ketiadaan sertifikat halal, padahal zat tersebut sebenarnya halal! Apabila membaca baik-baik secara runut fatwa MUI nomor 4 tahun 2016 tentang imunisasi, maka MUI menekankan bahwa imunisasi hukumnya wajib dalam hal seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa. Dalam hal ini, vaksin campak dan rubella sudah sangat jelas memenuhi kriteria terakhir.

Terakhir, masyarakat “merasa” dipaksa harus mengikuti imunisasi ini. Ada masyarakat yang mengatakan bahan dasar vaksin tak terbuka, dan masyarakat sulit mengetahui bahan awal sampai jadinya vaksin tersebut. Belum lagi “bukti “ adanya efek samping atau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) berat akibat vaksin, dan pernyataan “anak-anak bukan kelinci percobaan, jangan sampai sekadar kepentingan korporasi atau segelintir pihak, malah menjatuhkan kepercayaan program kesehatan”. Kali ini, semua pernyataan tersebut membuat saya geleng-geleng kepala.

Dokumen pembuatan vaksin dan kandungan vaksin sangat mudah diakses dan diunduh di internet. Beberapa buku berbahasa Indonesia juga sudah beredar sejak tahun 2014 lalu, menerangkan cara pembuatan vaksin dan apa saja kandungan vaksin. Informasinya sangat terbuka dan transparan, asalkan tahu cara mencarinya! Beberapa laporan KIPI vaksin yang dikatakan menyebabkan kelumpuhan, atau bahkan kematian pun, sudah diinvestigasi oleh tim berwenang dan hasilnya menyatakan tidak ada hubungan antara vaksin dengan gejala-gejala yang diduga KIPI tersebut! Vaksin bukanlah penyebab semua keluhan tersebut. Tidak mau percaya dengan hasil penyelidikan tersebut? Itu hak siapapun. Saya tahu orang-orang yang terlibat dalam tim PP KIPI, dan saya percaya mereka.

Anak-anak pun bukanlah kelinci percobaan, dan tak berhubungan sama sekali dengan kepentingan korporasi, atau teori konspirasi yang menjadi andalan sebagian orang. Seluruh vaksin yang beredar di Indonesia, dan dunia, telah melalui tiga tahap uji klinis yang sangat ketat, dan memakan waktu 10-15 tahun. Tidak sedikit kandidat vaksin yang gagal dipasarkan, karena tidak lolos uji klinis, meskipun sudah memakan biaya sangat besar untuk penelitiannya. Maka vaksin yang beredar dipastikan aman dan efektif. Pemantauan KIPI juga terus-menerus dilakukan sebagai uji klinis fase keempat.

Ingat, imunisasi adalah hak setiap anak yang dilindungi undang-undang. Segala upaya yang dapat menurunkan cakupan imunisasi di masyarakat, berisiko tinggi meningkatkan angka kesakitan dan kematian. Sadarkah orang-orang yang menyebarkan informasi tak benar yang tidak didukung fakta ilmiah akurat, bahwa Indonesia sudah dinyatakan bebas polio tahun 2014 lalu? Keberhasilan yang dicapai oleh keberhasilan program imunisasi dan tingginya cakupan imunisasi polio di Indonesia sejak beberapa dekade terakhir.

Tidak mustahil penyakit yang sudah hampir punah dari muka bumi, kembali meningkat jumlahnya karena masyarakat yang awalnya banyak mendukung imunisasi, malah berpikir sebaliknya. Saya adalah saksi bagi orangtua yang seumur hidup harus mengurus buah hatinya yang cacat akibat sindrom rubella kongenital. Dan bagi saya, satu anak saja yang meninggal karena campak sudah terlalu banyak!


*) Penulis adalah dokter spesialis anak dan penulus buku 'Pro Kontra Imunisasi', tinggal di Jakarta
Copyright © Tampang.com
All rights reserved